Siapa yang tidak mengenal tarian Gawi? Untuk kalangan masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT), tarian ini sudah sangat populer dan memasyarakat, karena selain ditampilkan pada saat upacara adat, tarian ini juga sering ditarikan di acara-acara pesta atau dipentaskan pada acara-acara resmi lainnya.
Tarian Gawi ini merupakan salah satu tarian adat suku Lio,
salah satu suku terbesar di Kabupaten Ende (dan juga di pulau Flores), yang
biasa ditarikan di kala upacara-upacara adat dilaksanakan. Meskipun dengan
gerakan langkah kaki dan tangan dalam satu irama (ritmis) yang sama, namun
terdapat beberapa versi tarian ini, yang saling berbeda antara satu suku kecil
dengan suku kecil lainnya, terutama dalam hal formasi kaum wanitanya, yang
berada pada sisi luar dari kaum pria saat tarian ini ditampilkan. Ada yang
menempatkan kaum wanita pada posisi melingkari (mengelilingi) kaum pria dalam
satu lingkaran penuh, namun ada pula yang menempatkan kaum wanita pada posisi
setengah lingkaran. Dalam perkembangannya, tarian ini tidak hanya dipentaskan
di saat upacara adat saja, namun juga dipentaskan di luar suasana upacara adat
sebagaimana disebutkan di atas.
Dalam memperingati 68 tahun lahirnya Pancasila, 1 Juni 2013
di Ende, untuk pertama kalinya, Pemerintah Kabupaten Ende menggelar tarian Gawi
massal (akbar) yang melibatkan sekitar 3.000 orang penari. Tarian ini
dipentaskan di lapangan Pancasila (dulu disebut lapangan Perse), satu hari
sebelum hari lahirnya Pancasila diperingati secara Nasional di kota tersebut,
yaitu dipentaskan pada tanggal 31 Mei 2013. Para penari yang terlibat berasal
dari bebagai profesi, etnis dan agama yang ada di kota ende. Panitia mencoba
menampilkan keanekaragaman profesi, etnis dan agama ini untuk mewakili keanekaragaman
struktur masyarakat Indonesia yang sangat majemuk.
Guna menampilkan tarian gawi yang megah, meriah, menarik
dan kolosal ini, cukup lama persiapan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten
Ende, selain mempersiapkan hal-hal teknis lainnya yang berkaitan dengan
kedatangan bapak Wakil Presiden RI, Budiono, guna meresmikan dua situs bersejarah
yaitu situs Patung permenungan Bung Karno dan Rumah Pengasingan Bung Karno. Di
tengah suasana musim penghujan yang tak pasti, latihan demi latihan pun digelar
guna menampilkan yang terbaik, yang juga dilaksanakan untuk memecahkan rekor
MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai tarian gawi terbesar sepanjang sejarah.
Dalam pementasan kolosal ini, Gawi ditarikan oleh pria dan
wanita yang berpakaian adat (tradisional). Yang pria memakai baju kaos oblong
berwarna putih polos (sebagian lainnya tidak berkaos alias bertelanjang dada),
dengan bawaan sarung khas pria (ragi)
yang dilengkapi dengan destar dan selempang. Sedangkan kaum wanita mengenakan “baju ende” berwarna merah maron dan
biru yang melambangkan warna danau kelimutu, sebuah danau tiga warna yang
menjadi salah satu ikon Kabupaten Ende, dengan bawaan sarung khas wanita (lawo).
Sebagaimana ciri khas tarian ini, yaitu bahwa tarian
berjalan dengan irama “sodha” yang
dinyanyikan tanpa iringan musik oleh seorang “ata sodha”. Karena berkaitan dengan peringatan hari lahirnya
Pancasila, maka “ata sodha” yang pada
kesempatan tersebut diperankan oleh bapak Albertus Bale, melagukan
kalimat-kalimat yang berkaitan dengan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia
khususnya berkaitan dengan lahirnya Pancasila, sebagai hasil permenungan Bung
Karno selama empat tahun menjalani masa pengasingan di Ende (1934 - 1938).