Dalam bulan September
sampai Oktober ini, suasana kota Ende (dan juga hampir seluruh wilayah
kabupaten Ende, dan juga Pulau Flores) diramaikan dengan selebrasi rohaniah,
yakni Pesta Sambut Baru. Bagi umat Katolik, Sambut Baru mendapat tempat tersendiri
untuk dirayakan secara meriah. Sambut Baru merupakan sebutan lain bagi Komuni
Pertama, dimana dalam tradisi gerejani merupakan salah satu sakramen yang wajib
diterima seluruh umat orang per orang.
Dalam tradisi gereja katolik, terdapat
lima sakramen yang dapat diterima setiap insan katolik, yakni sakramen
Permandian (Baptis), sakramen Ekaristi, sakramen Krisma, sakramen Perkawinan,
dan sakramen Minyak Suci. Tiga sakramen pertama merupakan sakramen wajib bagi
umat katolik, sedangkan dua sakramen lainnya yakni sakramen Perkawinan dan
Minyak Suci tergantung pada kesempatan setiap orang untuk menerimanya. Ada lagi
satu sakramen lainnya, yakni sakramen Imamat, yang hanya didapatkan oleh mereka
yang melayakan dirinya untuk melayani Tuhan baik sebagai Pastor atau Romo.
Kecuali sakramen Minyak
suci, hampir semua sakramen lainnya dirayakan secara meriah oleh umat yang
menerimanya. Untuk warga pulau Flores secara keseluruhan, yang paling meriah dirayakan
adalah penerimaan pertama sakramen Ekaristi atau lazim disebut Sambut Baru atau
juga Komuni Pertama. Jika pada sakramen Permandian, seseorang dimeterai sebagai
pengikut kristus (masuk sebagai seorang Katolik), maka pada sakramen Ekaristi,
seorang umat katolik dinyatakan layak mengikuti Perjamuan Kudus, yang selalu
dilakukan pada setiap perayaan Ekaristi (Misa). Ekaristi merupakan perjamuan
yang dibuat pertama kali oleh Yesus Kristus (Isa Almasih) malam sebelum Ia
disalibkan. Selanjutnya dijadikan sebagai tradisi gerejani yang kuat dengan
landasan teologis. Itulah mengapa ketika seseorang dilayakan mengikuti sakramen
ini, merupakan sebuah kebanggaan yang luar biasa, yang antara lain diwujudkan
dengan pesta atau perayaan yang meriah. Umat katolik di Flores menjiwai ini
dengan mengundang kerabat, sahabat kenalan untuk bersama merayakannya dalam tajuk
"Pesta Sambut Baru".
Telah berbagai upaya dilakukan,
atau berbagai wacana dihembuskan untuk menghentikan atau setidaknya mengurangi tradisi
ini, baik oleh kalangan tokoh gereja sendiri, maupun oleh kalangan umat
tertentu, namun hingga kini, masih saja umat merayakannya dengan meriah. Sebagian
kalangan mulai mengadakan perayaan secara sederhana, sebagian lainnya
mengkompensasi keinginan anaknya (untuk berpesta) dengan berwisata atau dengan
hadiah tertentu.
Secara internal, gereja
lokal pun mulai mengatur jadwal penerimaan Sambut Baru yang sebelumnya
dilakukan serentak dalam satu Kevikepan, diubah dari satu Paroki ke Paroki
lainnya, atau dari satu Stasi ke Stasi lainnya. Atau dengan mengubah hari
penerimaan Sambut Baru, dari yang biasanya hari Minggu ke hari lainnya tanpa
kepastian waktu dengan tujuan agar persiapan pesta terkendala kepastian waktu
penerimaan Sambut Baru. Berbagai upaya itu mungkin hanya berdampak sesaat (satu
musim Sambut Baru), namun pesta tetap terjadi lagi di tahun-tahun berikutnya.
Sebagian kalangan
terpelajar mulai mengkritisi korelasi antara pesta-pesta yang sering diadakan
ini dengan kemiskinan di NTT. Sambut Baru adalah salah satu seremoni bernuansa
rohani yang pasti diadakan setiap tahun, selain perayaan lainnya. Selain Sambut
Baru, umat juga merayakan secara meriah untuk momentum Pernikahan, Permandian,
atau Imamat (Pentahbisan Baru).
Terlepas dari polemik dampak
negatif yang mungkin ditimbulkannya, ternyata Pesta Sambut Baru memberikan
warna tersendiri baik dari sisi kebanggaan rohaniah, maupun dari sisi sosial,
yakni ajang "Silaturahmi" atau saling berkunjung diantara umat
katolik, atau dengan umat agama lainnya. Dalam acara ini, tuan pesta mengudang
seluruh kerabat, sahabat kenalan untuk datang ke rumahnya, bersalaman dengan si
anak yang menerima komuni pertama. Inilah momentum "Silaturahmi" itu,
momentum dimana semua orang bisa bertemu dalam suasana kekeluargaan.
Jika diamati dari
perilaku warga Katolik, antara perayaan hari besar keagamaan seperti Paskah
atau Natal dengan Sambut Baru, maka terdapat perbedaan yang cukup menyolok.
Ketika perayaan Paskah atau Natal, tidak banyak orang yang saling berkunjung
satu sama lain. Ini terlihat secara jelas pada suasana lalulintas kendaraan,
terutama di kota. Kebanyakan orang hanya bersalaman sesaat setelah selesai
perayaan Misa (Misa Paskah atau Natal) di halaman gereja. Dan juga, hanya
mengirim ucapan selamat Paskah atau Natal via SMS kepada rekan kerja atau
keluarganya, walaupun tinggalnya berdekatan. Jarang dilakukan saling kunjung
dalam perayaan ini. Kalau pun ada kunjungan rumah, paling hanya dilakukan oleh bawahan
terhadap atasan, atau oleh rekan kerja yang beragama lain.
Suasana ini sangat
berbeda ketika perayaan Sambut Baru, dimana lalulintas sangat padat oleh
kendaraan orang yang saling berkunjung satu sama lain.
Itulah mengapa Sambut Baru memberi warna tersendiri bagi
warga yang merayakannya. Tidak saja sebagai seremoni rohaniah, ia ternyata juga
mengakrabkan hubungan antar warga, kerabat, sahabat atau kenalan. Entah sampai
kapan tradisi ini berlangsung. Salam..
=====