Featured Post

Danau Kelimutu dan Pesona 3 Warna Air yang Dilihat dari Langit

Keindahan Danau Kelimutu membuat banyak orang ingin ke sana. Tapi memang tidak mudah mencapai puncak gunung Kelimutu untuk menatap keind...

Saturday, October 5, 2013

Sumbang Saran Bagi Pemimpin Kabupaten Ende Lima Tahun Kedepan (2014-2019)

Sidang pembaca yang budiman, tanpa terasa, masyarakat bumi kelimutu sebentar lagi, tepatnya pada tanggal 21 Oktober 2013, akan menggelar pesta demokrasi yaitu pemilihan Bupati dan wakilnya. Perhelatan yang kini mulai memasuki tahapan kampaye ini, selain menyedot perhatian masyarakat Kabupaten Ende yang kini menetap di dalam wilayah Kabupaten Ende, juga menyedot perhatian warga Ende-Lio yang bermukim di luar Kabupaten Ende. Di tengah hiruk pikuknya masyarakat, kelompok masyarakat, maupun orang perorangan, yang mulai terlihat menjagokan tokoh tokoh tertentu,
tentunya kita baik secara perorangan maupun kelompok memiliki banyak harapan terhadap tokoh Bupati dan wakilnya yang, untuk membangun Kabupaten Ende ini dan membawanya ke arah yang lebih baik dalam lima tahun masa kepemimpinannya. Siapapun dia, pemimpin Kabupaten Ende lima tahun mendatang ini haruslah orang yang mengetahui persis kondisi sosial kemasyarakatan, permasalahan dan kebutuhan masyarakat Ende-Lio lima tahun kedepan, dan memiliki kemampuan mewujudkan visi masyarakat Ende-Lio melalui karakter kepemimpinannya.
Mengapa visi masyarakat Ende-Lio yang perlu di wujudkan?
Sidang pembaca yang budiman, kepemimpinan era pembangunan saat ini lebih diarahkan pada upaya mewujudkan visi masyarakat yang dipimpin, bukan visi pemimpinnya. Jika pembanguan dilaksanakan menurut visi pemimpinnya, maka apabila terjadi pergantian pemimpin, akan terjadi kondisi stagnan dan terputusnya program-program pembangunan yang telah dilaksanakan kepemimpinan sebelumnya, walaupun program tersebut sangat efektif, efisien dan bermanfaat bagi tercapainya masyarakat yang sejahtera. Namun jika pembangunan dilaksanakan menurut visi masyarakat yang dipimpin, maka siapa pun pemimpinnya, wajib membawa masyarakat yang dipimpinnya mencapai visi masyarakat tersebut. Dengan demikian maka secara lapang dada pemimpin yang baru akan menerima segala hal yang positif dari kepemimpinan sebelumnya dan selama kepemimpinnya akan terjadi upaya-upaya “memperbaiki”  (menyempurnakan) dan “menambah”. Demikian seterusnya, dari satu periode kepemimpinan ke periode kepemimpinan selanjutnya, hingga suatu saat mencapai visi masyarakat tersebut.
Dalam periode pencapaian visi jangka pendek (5 tahunan), pembangunan yang dilaksanakan lima tahun mendatang harus lebih bergairah, tepat sasaran, efektif, dan efisien daripada lima tahun yang lalu. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa salah satu aspek pembangunan adalah “mengubah” atau “memperbaiki” (menyempurnakan) apa yang telah dilaksanakan sebelumnya dan membuatnya menjadi lebih bermanfaat. Aspek lainnya, yaitu “menambah” apa yang belum dilakukan sebelumnya, namun menjadi kebutuhan masyarakat, seiring dengan dinamika sosial kemasyarakatan. Pemimpin harus mewujudkan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat, bukan keinginan masyarakat, apalagi kebutuhan dan keinginan pemimpin itu sendiri.
Sebagai warga masyarakat Kabupaten Ende yang mencintai bumi kelimutu ini, berikut kami sajikan apa yang menjadi kebutuhan Ende ke depan, berdasarkan pengalaman dan pengamatan kami, dengan memperhatikan kedua aspek tadi, yaitu “memperbaiki”  (menyempurnakan) dan “menambah”. Para calon bupati dan wakilnya tentu telah mempunyai konsep sendiri tentang apa yang akan diperbuat untuk Ende-Lio tercinta ini, yang akan disampaikan selama masa kampanye. Usul saran yang disajikan dalam bentuk (konsep) program atau kegiatan taktis strategis ini, semata-mata/setidaknya menjadi pelengkap konsep yang telah dibuat, atau sebagai brain storming (perangsang berpikir) untuk menciptakan Ende yang lebih baik dalam lima tahun ke depan.     

Sektor Kesehatan dan Rumah Sakit
Kesehatan adalah salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Masyarakat yang sehat tentunya akan lebih bergairah dalam mencapai kebutuhan hidupnya. Sisi manakah dari sektor ini yang perlu diperbaiki (disempurnakan) atau ditambah ?. Masyarakat yang tidak sehat menjadi obyek para tabib, dukun, perawat, atau dokter untuk menambah penghasilan mereka. Kecenderungan ini harus diakui terjadi dalam masyarakat kita. Indikatornya dapat dilihat pada upaya “pembiaran” masyarakat terbelenggu dalam pola hidup, lingkungan dan sebagainya yang membuat mereka sakit atau tetap sakit. Bantuan yang ada tidak optimal dilaksanakan, dengan maksud sebagaimana disebutkan di atas, yaitu upaya “pembiaran” demi peningkatan pendapatan pihak lain. Hal yang nyata dapat dilihat, salah satunya adalah menjadikan RSUD sebagai salah satu penyetor PAD. Ini berarti bahwa ada harapan pemerintah, yaitu, semakin banyak masyarakat yang sakit, akan semakin banyak orang yang pergi ke rumah sakit, dan akan semakin banyak pendapatan rumah sakit, untuk disetor sebagai PAD, atau semakin banyak pendapatan dokter atau apoteker yang memiliki apotik. Pola pikir ini secara tanpa sadar mewabah pada insan kesehatan dan rumah sakit, dan merambah pada logika berpikir dan bertindak pemimpin kita.
Patut dipertanyakan, mengapa tidak ada penambahan rumah sakit? mengapa tidak melibatkan peran swasta atau lembaga keagamaan dalam pendirian rumah sakit jika kemampuan pemerintah terbatas?, mengapa tidak ada upaya antisipasi pada musim-musim terjadinya DBD (awal musim penghujan)?, mengapa penyemprotan nyamuk DBD hanya dilakukan sporadis?, mengapa tidak menjual alat penyemprot DBD secara bebas pada masyarakat sehingga mereka dapat melakukan penyemprotan secara swadaya dan swadana?, mengapa kelahiran di rumah sakit pemerintah selalu diarahkan pada operasi caesar?, mengapa pelayanan obat-obatan ASKES yang menjadi hak pengguna ASKES tidak sepenuhnya dilayani? (hanya obat-obatan murah yang dilayani, jika harganya sedikit lebih mahal, maka pasti stoknya habis, dan harus beli di apotik luar yang dimiliki para dokter atau apoteker). Mengapa pasien UGD yang sekarat belum dapat dilayani, jika belum ada penanggungjawabnya? (yang dimaksud penanggungjawab keuangan/membayar biaya rumah sakit, atau..?) Masih banyak pertanyaan lain tentang pelayanan kesehatan ini. Minimnya dana pemerintah, kurangnya tenaga dokter, perawat,  selalu menjadi alasan dari semua jawaban pertanyaan tadi.
Lalu apa yang dibutuhkan oleh masyarakat Kabupaten Ende menjawabi permasalahan-permasalahan di atas?
  1. Penambahan Rumah Sakit ; taktis dan strategisnya adalah dengan Pembangunan Rumah Sakit di empat lokasi : Watuneso, Maurole, Nangapanda, dan Maukaro, dengan fungsi strategis sebagai rumah sakit satelit bagi RSU Ende, dengan kelas yang setingkat lebih rendah dari RSU Ende. Banyak faktor yang menyebabkan seorang pasien atau calon pasien gawat darurat yang meninggal sebelum mendapat pertolongan. Faktor tersebut antara lain keterlambatan penanganan, dan ketidaktepatan penanganan. Keterlambatan penanganan antara lain berkaitan dengan  secepat apa rumah sakit dapat diakses oleh pasien atau keluarganya. Ini menyangkut jarak rumah sakit tersebut yang mudah dijangkau. Banyak pasien gawat darurat dari luar kota Ende yang meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit, karena jauhnya akses ke rumah sakit di kota ini. Dengan pembangunan rumah sakit di keempat lokasi tadi, faktor keterlambatan penanganan ini setidaknya dapat diatasi. Faktor lainnya adalah ketepatan penanganan. Diagnosa yang tepat akan mengarah pada pemberian pertolongan dan obat-obatan yang tepat. Hal ini menyangkut keahlian profesional dokter, dan tenaga medis lainnya. Pembangunan rumah sakit satelit ini tentunya berimplikasi pada kebutuhan tenaga dokter, perawat, dan sebagainya. Demi kepentingan masyarakat, pembangunan RS satelit di empat lokasi di atas bisa melibatkan pihak swasta, apabila pemerintah mengalami keterbatasan dana.
  2. Memberikan perizinan bagi pembangunan rumah sakit swasta atau rumah sakit yang didirikan lembaga keagamaan baik di dalam kota maupun di luar kota. Saat ini masyarakat Ende belum “merdeka” (bebas) dalam memilih rumah sakit, karena hanya disediakan satu rumah sakit umum yaitu RSUD Ende dengan pelayanannya yang belum optimal. Dengan adanya RS swasta, tentu persaingannya dengan RSU milik pemerintah akan lebih sehat (dalam hal pelayanan), sehingga masyarakat memiliki banyak pilihan untuk memilih RS mana yang akan merawatnya. 
  3. Peningkatan status/ kelas bagi RSU Ende dengan pelayanan dan fasilitas yang lebih baik, serta relokasi ke lokasi yang lebih memenuhi syarat dan strategis. 
  4. Memberikan bantuan/subsidi susu bagi ibu hamil dan balita pada keluarga tidak mampu/miskin di pedesaan selama 5 tahun masa kepemimpinan (untuk bayi-bayi dan balita yang lahir selama masa kepemimpinan). Hal ini dimaksudkan untuk membangun generasi yang sehat karena usia balita adalah usia yang sangat membutuhkan gizi yang baik untuk masa pertumbuhan selanjutnya. Untuk menjalankan progam ini dibutuhkan dana ekstra. 
  5. Untuk mencegah wabah DBD yang menjadi wabah musiman tahunan yang selalu menelan korban, alangkah baiknya jika alat pengasapan (fogging) untuk penyemprotan sarang nyamuk di bagikan/dijual bebas ke setiap desa/kelurahan atau bahkan dapat dimiliki oleh keluarga-keluarga, sebagaimana abate yang di jual bebas. Dengan demikian maka penyemprotan lingkungan akan dilakukan sendiri oleh masing-masing, yang tentunya dengan pengawasan (dalam penggunaan obat-obatan kimianya serta pelatihan/pedoman penyemprotan, dan sebagaina) dari dinas Kesehatan. 
  6.  Pelayanan ASKES di rumah sakit lebih dioptimalkan, karena terkesan pelayanan seadanya padahal obat-obatan kategori layanan ASKES menjadi hak peserta ASKES, sehingga ketersediaan obat tersebut harus selalu ada. Terkesan obat-obatan dalam layanan ASKES diadakan seadanya, dan lebih diutamakan obat-obatan yang berharga rendah (infus, jarum suntik, dan sebagainya), sedangkan obat-obatan dengan harga yang sedikit lebih mahal, meskipun masuk dalam item layanan ASKES, namun tidak disiapkan (dengan alasan kehabisan stok), dengan maksud agar pasien/keluarga pasien diarahkan membeli obat-obatan tersebut di luar di apotik yang disiapkan masing-masing dokter.

Sektor Pariwisata
Pariwisata biasa dikatakan sebagai sebuah “industri”. Dalam sebuah industri, terdapat suatu sistem yang berjalan, dengan banyak komponen yang terlibat di dalamnya. Dari sisi obyek wisata, pariwisata tidak hanya menyangkut keindahan alam saja (wisata alam), namun juga budaya, kesenian, adat istiadat (wisata budaya), makanan lokal/tradisional (wisata kuliner), rohani (wisata rohani), pendidikan (wisata pendidikan), sejarah (wisata sejarah), pertanian/hasil pertanian (agrowisata), dan sebagainya. Dari sisi stakeholder (pelaku pariwisata), bukan hanya Dinas Pariwisata saja, namun juga melibatkan sektor swasta, biro-biro perjalanan, guide, sanggar-sanggar kesenian, sanggar budaya, kelompok musik atau tarian tradisional, perhotelan, transportasi, dan sebagainya. Dari sisi letak geografis, tidak hanya satu wilayah Kabupaten saja yang mengembangkan wisatanya, namun juga melibatkan Kabupaten lainnya dengan keunikannya masing-masing. Posisi kabupaten dalam pulau flores ini berbeda dengan kabupaten-kabupaten di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, atau Bali. Di pulau flores, letak masing-masing Kabupaten berjajar dari timur ke barat pulau Flores, atau sebaliknya. Dari menyaksikan Semana Santa di Larantuka, apabila ingin dilanjutkan dengan  melihat pemukiman tradisional Bena dan tarian Ja’i di Ngada, harus terlebih dahulu melewati wilayah Sikka, Ende, dan Nagekeo.  Kondisi ini mengharuskan adanya kerjasama regional antar Kabupaten-Kabupaten di wilayah Flores ini. Harus ada agenda wisata yang jelas dari satu kabupaten ke kabupaten lainnya, dari kabupaten di wilayah timur hingga ke barat atau sebaliknya, dari awal tahun hingga akhir tahun. Sehingga para wisatawan dapat menyaksikan segala keunikan pulau Flores dari ujung timur hingga ujung barat, sepanjang tahun.
Dengan memperhatikan kondisi di atas, secara strategis, perlu dilakukan kegiatan/program berikut :
  1. Memperbanyak frekwensi penyelenggaraan even-even/ agenda wisata, seperti festifal budaya, pameran-pameran, festifal kesenian, pagelaran makanan lokal, dan sebagainya.
  2. Menggalang kerjasama secara regional dengan kabupaten terdekat dengan membuat agenda wisata sepanjang tahun dari timur ke barat Flores. Misalnya dimulai dari Semana Santa di Flores Timur (bulan April), festifal budaya di Sikka (Mei), festifal budaya di Ende (Juni), festifal budaya di Nagekeo (Juli), di Ngada (Agustus), Matim (September), Manggarai (Oktober), dan Mabar (November). Selain itu, dikembangkan makanan-makanan lokal baik dari segi cita rasa, penyajian/kemasannya, serta pengembangan obyek-obyak wisata lainnya (wisata sejarah, agrowisata, wisata rohani, dan sebagainya). 
  3.  Perbaikan fasilitas, sarana dan prasarana pada obyek-obyek wisata yang ada. 
  4.  Melibatkan peran berbagai stakeholder kepariwisataan. Dinas Pariwisata hendaknya bukan sebagai pelaku pariwisata, namun lebih berfungsi sebagai koordinator, inisiator, dan katalisator bagi jalannya pariwisata di Kabupaten Ende. Upaya pelibatan peran swasta, kelompok adat, dan lain-lain perlu ditingkatkan.
Sektor Kehutanan
Kehutanan adalah salah satu sektor hulu dan penopang bagi sektor-sektor lainnya, seperti ekonomi, pariwisata, kesehatan, peternakan, dan pertanian, sebab sektor ini mengurusi hutan dan segala aspeknya yang berfungsi sebagai “penyangga kehidupan”. Untuk hidup, makhluk hidup membutuhkan empat faktor, yaitu : oksigen, air, makanan, dan tanah sebagai tempat hidup dan budidaya. Tanpa salah satu faktor itu, manusia dan makhluk lainnya tidak dapat hidup di muka bumi ini. Hutan berfungsi menjaga peran keempat faktor penentu kehidupan itu tetap optimal. Rusaknya hutan mengakibatkan keempat faktor di atas tidak optimal kemanfaatannya bagi kepentingan manusia. Hal ini berdampak pada aspek lainnya, seperti kesehatan, ekonomi, pariwisata, pertanian, dan sebagainya. Pertambahan penduduk yang berimplikasi pada pertambahan ruang pemukiman, menjadi salah satu faktor yang mengurangi kualitas (fungsi) dan kuantitas (luas) hutan. Di Kabupaten Ende, terdapat setidaknya 52 perkampungan yang berada di dalam kawasan hutan. Kesulitan air di musim kemarau baik untuk keperluan rumah tangga maupun untuk pertanian, merupakan salah satu indikator telah tidak berfungsinya hutan kita akibat kerusakan. Demikian pula, terjadinya banjir, erosi, pengikisan dan sedimentasi sungai, yang semakin tinggi baik kualitas (volume) maupun  kuantitas (frekwensi dan luas wilayah bencana).
Secara topografis, Kabupaten Ende didominasi pegunungan dan perbukitan. Kondisi ini mengakibatkan wilayah ini sangat rawan terhadap erosi, pengikisan, dan sedimentasi. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan Pembangunan berwawasan hijau (green development) hendaknya menjadi bahan pertimbangan dalam membangun Ende tercinta.
Dari kondisi-kondisi di atas, apakah yang menjadi kebutuhan masyarakat Kabupaten Ende? Secara taktis dan strategis, dapat dilakukan kegiatan/program berikut :
  1. Kegiatan perhutanan sosial (Social forestry) lebih ditingkatkan, seperti Hutan Rakyat (HR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, dan Hutan Adat. Lokus utamanya adalah pada pemukiman yang berada di dalam kawasan hutan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkakan akses dan peran serta masyarakat dalam pelestarian hutan sekaligus dalam peningkatan ekonominya. Dengan pengembangan social forestry maka gangguan kelestarian hutan akan semakin diperkecil.
  2. Perbanyak pembangunan embung dan sumur peresapan untuk pemampungan air hujan dan peresapan air ke dalam tanah, terutama pada wilayah-wilayah hilir perkotaan (kelurahan mautapaga, kelimutu, dan sebagainya) yang selalu menerima aliran air permukaan (run off) dari wilayah hulunya (kelurahan onekore, roworena, dan lain-lain). Dengan pembangunan sumur peresapan air, selain mengurangi aliran air permukaaan (run off) yang merupakan potensi banjir, juga meningkatkan persediaan air tanah, mengurangi erosi dan sedimentasi, juga mengatasi konflik horisontal antar masyarakat dalam pembuangan air limbah rumah tangga.
  3. Kesulitan air adalah salah satu masalah besar yang dihadapi kota Ende dan beberapa wilayah di Kabupaten Ende ini dalam tahun-tahun mendatang. Saat ini, di musim-musim kemarau, masyarakat telah mulai membeli air yang disiapkan oleh swasta. Fenomena ini merupakan indikator bahwa kemampuan suplai air PDAM sudah semakin berkurang, baik karena pertambahan penduduk (perumahan/pemukiman) maupun semakin berkurangnya debit mata air. Untuk wilayah perkotaan, pada wilayah-wilayah pemukiman tertentu, seperti onekore, paupire, dan sebagaimnya, selalu mengalami kesulitan air pada pertengahan hingga akhir musim kemarau (bulan Agustus hingga November). Pada bulan-bulan tersebut, suplai air bagi masyarakat yang kesulitan air ini harus dilakukan, antara lain dengan menggunakan fasilitas mobil tangki air milik PDAM. Pembangunan bak-bak penampung air atau embung di wilayah-wilayah pemukiman ini perlu dilakukan sebagai wadah untuk menampung air tangki yang disuplai PDAM. Selain itu, perlu juga dilakukan revitalisasi, reposisi atau rehabilitasi pipa-pipa air yang ada.
  4. Perhatian pemerintah pada mata-mata air sebagai sumber air untuk disuplai ke wilayah perkotaan (mata air woloare, aekipa, aepana, dan lain-lain) harus lebih dioptimalkan. Pengawasan penebangan dan penghijauan pada areal sekitar mata air ini harus dilakukan. Dalam hal ini peran PDAM yang memanfaatkan (menjual) air ke masyarakat harus lebih nyata, dalam hal pemeliharaan sumber-sumber mata air. Pembangunan yang berwawasan lingkungan, adalah menyediakan sebagian dari keuntungan ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan sumberdaya alam untuk dikembalikan kepada sumberdaya alam itu sendiri, sehingga dicapai kelestarian hasil, kelestarian kemanfaatan dan kelestarian ekonomi. Secara riil, keuntungan yang diperoleh PDAM harus disisihkan sebagian untuk penyelamatan mata air ini. Secara teknis tentunya dilaksanakan oleh sektor terkait. Demikian pula pada mata-mata air di wilayah lainnya.
  5. Dengan semakin banyaknya populasi kendaraan, semakin meningkatkan polusi udara di perkotaan. Mengatasi hal ini, pembangunan hutan kota menjadi penting. Selain dalam rangka mengurangi polusi udara, pembangunan hutan kota juga menambah ruang terbuka hijau dan ruang-ruang publik (sebagai tempat rekreasi). Terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam pembangunan hutan kota, yaitu pertama : hutan kota dibangun pada lokasi-lokasi tertentu saja. Pada pendekatan ini hutan kota merupakan bagian dari suatu kota. Penentuan luasannya pun dapat berdasarkan : (1) Prosentase, yaitu luasan hutan kota ditentukan dengan menghitungnya dari luasan kota, (2) Perhitungan per kapita, yaitu luasan hutan kota ditentukan berdasarkan jumlah penduduknya, (3) Berdasarkan isu utama yang muncul. Secara umum, kota-kota di Indonesia menggunakan pendekatan ini.
  6. Pendekatan kedua, yaitu semua areal yang ada di kota pada dasarnya adalah areal untuk hutan kota. Pada pendekatan ini komponen yang ada di kota seperti pemukiman, perkantoran dan industri dipandang sebagai suatu enklave (bagian) yang ada dalam suatu hutan kota. Negara Malaysia dan Singapura membangun hutan kota dengan menggunakan pendekatan kedua ini. Yang penting kota harus dihijaukan dengan tanaman secara maksimal, agar lingkungan menjadi bersih terbebas dari pencemaran udara, sejuk , indah, alami dan nyaman. Walaupun mungkin pada lokasi terbuka yang luasnya kurang dari 10 m2 saja, jika dimungkinkan untuk dapat ditanami, maka akan ditanami dengan tanaman, sehingga akan diperoleh lingkungan yang lebih indah dari segi tata letak, komposisi, aksentuasi, keseimbangan, keserasian dan kealamian, tanpa melupakan persyaratan silvikulturnya.
  7. Kota Ende dapat menggunakan kedua pendekatan ini bersamaan. Untuk pendekatan kedua, sangat diperlukan peran serta masyarakat untuk menghijaukan lingkungannya masing-masing dengan tanaman-tanaman umur panjang, serta menjaga tanaman-tanaman hutan kota yang telah ditanam pemerintah. Masyarakat kabupaten Ende yang berbudaya, berpikir dan bertindak hijau (green culture, green think, and green act) adalah visi pembangunan hutan kota ini.
  8. Ada beberapa bentuk hutan kota, yaitu : Jalur hijau, taman kota, kebun dan halaman, kebun raya- hutan raya-kebun binatang, hutan lindung, kuburan dan taman makam pahlawan. Berdasarkan potensi perkotaan, untuk pembangunan hutan kota pada wilayah perkotaan kota Ende, dapat menggunakan bentuk jalur hijau, taman kota, kebun dan halaman, serta pada areal kuburan dan taman makam pahlawan.
Sektor Ekonomi
  1. Penambahan/pemberian izin pembangunan pompa bensin (SPBU), karena dengan pertambahan kendaraan bermotor terutama roda dua yang sangat pesat, jumlah SPBU yang ada saat ini (tiga unit) masih dirasa sangat kurang. Hal ini terlihat dari antrian kendaraan setiap hari, rata-rata membutuhkan waktu mengantri selama 30-50 menit. Selain di wilayah kota, juga perlu dibangun di Wolowaru, Nangapanda, Maukaro, dan Maurole. Peran swasta sangat diharapkan untuk ini. Apabila dimungkinkan, dapat dibangun SPBU milik pemerintah, sebagai upaya peningkatan PAD. 
  2. Relokasi/pemusatan pedagang kaki lima, terutama di malam hari. Misalnya dipusatkan di sepanjang jalan dari lapangan Koni sampai ke sepanjang pantai ria. Aktivitas hanya malam hari, dengan ketentuan masing-masing pedagang tetap menjaga kebersihan lingkungan. (seperti Kampung  Solor di Kupang). Relokasi ini tentunya sangat menunjang pariwisata dan meningkatkan geliat ekonomi. 
  3. Penataan dan optimalisasi fungsi pasar-pasar tradisional yang ada.
Sektor Perhubungan
  1. Hendaknya dibuat Perda yang mengatur tentang perizinan mengadakan/ membangun tenda pesta di jalan-jalan umum. Terkesan akhir-akhir ini banyak yang menggunakan badan jalan untuk membangun tenda pesta dan mengorbankan kepentingan pengguna jalan lainnya. Demikian pula untuk kepentingan membangun tenda bagi pengunjung yang melayat (untuk rumah-rumah di tepi jalan umum). Mengapa hal ini perlu diatur, karena mengingat pertambahan kendaraan yang sangat pesat (terutama roda dua), namun tidak diimbangi dengan pertambahan ruas jalan (jalan utama maupun jalan alternatif) di dalam kota. Adanya perizinan menggunakan badan jalan untuk berpesta, jelas sangat mengganggu kepentingan umum (aktivitas pengguna jalan lainnya), dan memberikan peluang kemacetan, terutana jam-jam sibuk.
  2. Penataan dan optimalisasi fungsi terminal penumpang.
Sektor Pembangunan/ Perencanaan Pembanguan dan Keuangan
>> Perencanaan fisik :
  1.  Jika di dalam tata ruang kota terdapat areal yang khusus diperuntukan bagi pembangunan perkantoran (pelayanan pemerintahan), maka tanah-tanah di kawasan tersebut harus dibebaskan kepemilikannya dari pemilikan perorangan. Pemda perlu menyiapkan anggaran untuk itu. Dengan pembebasan tanah ini akan membatasi pemilik perorangan untuk membangun bangunan selain yang diatur peruntukannya di wilayah tersebut. Dan harus diperjelas pula “perkantoran” yang mana yang dimaksud. Contoh kasus pembangunan salah satu showroom (swasta) di Jalan Eltari di lokasi yang diperuntukan bagi perkantoran. Perkantoran yang dimaksud dalam Perda tata ruang adalah perkantoran untuk layanan pemerintahan dan BUMN, bukan swasta. Namun perizinan tetap diberikan oleh pemberi izin dengan alasan pembenar bahwa itu juga untuk pembanguan kantor (satu kamar kecil untuk kantor, dengan showroom yang luas disampingnya). Apakah ini yang dimaksudkan sebagai kantor? Kalau demikian, maka setiap usaha swasta dapat membangun usahanya di wilayah yang untuk “perkantoran” itu, hanya dengan menyiapkan satu ruang kecil untuk kantor, namun dengan ruang yang lebih besar untuk memajang dagangannya. Dengan adanya pembebasan tanah ini, permasalahan seperti itu tentu tidak akan terjadi lagi.
  2. Penambahan ruang-ruang publik dan optimalisasi pemanfaatan ruang-ruang publik yang telah ada. Misalnya, areal lapangan Pancasila (dulu lapangan Perse), agar tidak lagi dipergunakan untuk pertandingan sepak bola. Jika diadakan pertandingan sepak bola di tempat ini, lalu lintas menjadi macet dengan banyaknya kendaraan yang diparkir di pinggir jalan Sukarno. Selain itu, yang sangat penting, bahwa di sisi barat lapangan ini terdapat pohon Sukun dan bapak bangsa Bung Karno yang tengah duduk merenung (situs bersejarah yang telah diresmikan). Sangat tidak santun apabila lokasi itu menjadi ramai di tengah renungan beliau, apalagi bila ada tendangan bola kaki melayang mengenai pohon sukun atau patung Bung Karno. Lapangan sepak bola sebaiknya dipindahkan ke luar kota, ke arah timur (kecamatan Ndona), atau ke arah barat (nangaba, kecamatan Ende), selain dengan mengoptimalkan lapangan/stadion Marilonga. Lapangan Pancasila ini dialihkan dan dioptimalkan peruntukannya sebagai ruang publik berupa taman/hutan kota yang diisi dengan tanaman arboretum (tanaman umur panjang jenis lokal, seperti Cendana, Nara, Wala, dan sebagainya, yang hidup sebagai satu vegetasi hutan kota menyatu dengan jenis Sukun yang telah ada), dengan penataan taman, lintasan jogging, arena bermain anak-anak, satu dua lapangan basket/fulsal/volly, pangung pementasan drama (pementasan tonil Bung Karno yang diagendakan setiap tahun karena lokasinya berdekatan dengan patung Bung Karno), dan sebagainya. Pembagunan masing-masing fasilitas tersebut disesuaikan lokasinya/penempatannya dalam areal yang menyatu dimulai dari lapangan Pancasila, Lapangan Koni, Taman Rendo, Taman Ria, dan Museum Bahari. Arena untuk perayaan kemerdekaan dialihkan ke lapangan Marilonga di Wolowona, yang tentunya dengan sedikit perbaikan dan penambahan fasilitas di lapangan Marilonga ini. 
  3.  Salah satu ruang publik yang dibutuhkan adalah Gedung Olah Raga (GOR). Misalnya, di sekitar lapangan marilonga dapat dibangun GOR untuk mengadakan pertandingan bulutangkis, basket, voli, tinju, atau olahraga bela diri lainnya), dengan lintasan jogging di sekelilingnya, dengan penataan lokasi parkir dan vegetasi taman yang asri. Kemungkinan lainnya, lapangan Marilonga ini dialihfungsikan menjadi GOR.

 >> Kebijakan Anggaran :
  1. Dalam kebijakan anggaran, terutama dalam alokasi anggaran bagi setiap sektor agar ada prinsip perimbangan. Perimbangan disini dimaksudkan bukan sama atau seimbang antar sektor, namun terjadi keseimbangan antara volume kegiatan, pentingnya (prioritas) sektor tersebut, dengan pendanaan bagi sektor tersebut. Saat ini terkesan pada sektor-sektor yang sifatnya bukan layanan publik secara langsung (sektor yang berfungsi koordinatif) memiliki anggaran yang lebih besar dari sektor yang melayani masyarakat secara langsung (seperti sektor ekonomi : pertanian, peternakan, perikanan, kehutanan, perkebunan, kependudukan, perhubungan, kimpraswil, pariwisata, dan lain-lain). 
  2.  Dalam perencanaan anggaran saat ini, terutama dalam proses Musrenbang, dikenal istilah “Pagu dana indikatif”. Berdasarkan pengalaman, pagu dana indikatif ini dimaksudkan/ digunakan sebagai indikator bagi penempatan besarnya anggaran ke setiap wilayah kecamatan (asumsinya berdasarkan luas wilayah kecamatan, jumlah penduduknya, dan sebagainya), sehingga terdapat perbedaan besarnya pagu indikatif bagi setiap kecamatan.  Dalam mekanisme Musrenbang tersebut, setiap desa/kelurahan diarahkan mengajukan anggaran untuk membiayai kegiatan-kegiatannya dengan berdasarkan pagu indikatif ini. Pandangan kami bahwa “pagu indikatif” ini bukanlah penganggaran riil (anggaran yang pasti akan diperoleh wilayah kecamatan tersebut di tahun berikutnya), karena sangat tergantung pada kegiatan di masing-masing sektor (dinas/instansi) terkait di wilayah kecamatan tersebut. Dari kondisi ini, terkesan “pagu indikaif” ini menipu masyarakat di wilayah kecamatan. Berbagai kegiatan telah direncanakan dengan mekanisme musrenbang yang melelahkan, namun dengan kepastian (pelaksanaan dan anggaran) yang menunggu alokasi dari masing-masing sektor (dinas/badan/kantor). Alangkah baiknya jika dalam penyusunan APBD, telah dialokasikan anggaran (belanja publik, belanja pegawai,  dan belanja modal) yang jelas dan pasti untuk setiap wilayah Kecamatan, selain anggaran untuk masing masing SKPD (belanja publik, belanja pegawai dan belanja modal). Misalnya dengan APBD setahun 600 Milyar, alokasi untuk dibagi ke kecamatan-kecamatan sekitar 150-200 Milyar (5-10 Milyar per-kecamatan). Meskipun kecil, namun pasti. Alokasi anggaran ini untuk membiayai kegiatan di tingkat kecamatan (fisik dan non fisik) selain untuk pembanguan fasilitas umum yang sifatnya lintas kecamatan seperti jalan, dan realisasinya juga pasti (yang dilaksanakan oleh dinas teknis tekait : dalam hal perencanaan detail, ketenagaan, bimbingan/ pendampingan, dan pengawasan, dan lain-lain). Dalam perencanaan pembangunan jalan/ peningkatannya hendaknya (penganggarannya) berdasarkan ruas jalan, bukan berdasarkan wilayah desa, kelurahan, atau kecamatan (terutama untuk jalan lintas desa, dan lintas kecamatan). Jika berdasarkan wilayah desa/kelurahan, maka kualitas jalan akan berbeda dari satu desa dengan desa lainnya, namun jika pembangunannya per-ruas jalan, maka dalam satu ruas jalan tersebut (melewati beberapa desa atau kecamatan) kualitasnya sama. Selain itu, anggaran untuk pembangunan/peningkatan jalan ini sangat besar, sehingga menyedot sebagian besar anggaran yang telah dialokasikan ke masing-masing kecamatan (dalam pagu indikatif tadi). Diusulkan agar perencanaan anggaran pembangunan jalan tidak diserahkan ke setiap kecamatan (dalam mekanisme Musrenbang)/tidak dipadukan dengan anggaran yang telah dialokasikan ke setiap kecamatan sebagaimana disebutkan di atas, namun diserahkan kewenangannya di tingkat Kabupaten (dengan berdasarkan prioritas di tingkat kabupaten dengan prinsip anggaran per-ruas jalan tadi, bukan per-desa atau kecamatan). Penganggaran untuk jalan ke tingkat desa hanyalah untuk pembanguan jalan produksi atau jalan tani (yang hanya ada dalam wilayah desa, bukan lintas desa/kecamatan). 
 >> Aset Keuangan Daerah  :
Agar aset keuangan daerah tidak dipusatkan ke satu bank saja. Terkesan keuangan daerah saat ini semuanya dipusatkan di bank pemerintah daerah (BPD NTT). Meskipun dengan maksud mudah pengontrolan rekening, menumbuhkan bank daerah, dan sebagainya. Hal ini tentunya sangat beresiko jika suatu saat bank tersebut kolaps, maka seluruh aset/kas daerah ikut amblas. Hendaknya keuangan kas daerah dialokasikan tersebar, tidak hanya terpusat pada satu bank saja. Selain untuk menjaga kemungkinan kolapsnya bank tadi, juga membangun jaringan hubungan yang baik dengan bank BUMN dan swasta lainnya di daerah ini (BRI, Bank Bukopin, Bank Danamon, BNI, Bank Mandiri, dll). Membangun jaringan kerjasama yang baik dengan semua bank yang ada merupakan salah satu fungsi pemerintah.

Demikianlah beberapa sektor yang perlu mendapat “perbaikan/penyempurnaan” maupun “penambahan” menurut pandangan kami. Setidaknya usul saran ini dapat dijadikan pelengkap bagi konsep-konsep yang telah ada, hanya dengan satu maksud, yaitu mewujudkan “Masyarakat Ende-Lio Sare Pawe”.     
======
Booking.com