Menjalani empat tahun masa pengasingannya di Ende, yang dimulai pada tanggal 14 Januari 1934 sampai 18 Oktober 1938, Bung Karno menyisakan berbagai jejak bersejarah baik fisik (yang terlihat) maupun yang tak terlihat (berbagai kesan, atau ceritera-ceritera), baik yang telah terungkap maupun yang mungkin belum terungkap secara utuh.
Jejak fisik yang terlihat seperti Rumah tinggal Bung Karno dan keluarga serta segala perabotannya, kumpulan naskah-naskah tonil hasil karangan beliau, makam ibu mertua (ibu Amsi), gedung Imaculata sebagai tempat latihan dan pementasan tonil, dan lokasi bekas pohon sukun sebagai tempat beliau menghabiskan waktu untuk menyendiri. Jejak-jejak yang tak terihat berupa kesan-kesan atau cerita-cerita dari para orang tua yang hidup semasa beliau berada di Ende, yaitu antara tahun 1934 sampai 1938, yang diceritakan secara turun temurun.
Untuk jejak-jejak tak terlihat ini, diperlukan suatu
penelitian mendalam atau pembukitian demi pembuktian. Meskipun telah mulai
diakui secara Nasional, ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab dengan
pembuktian yang pasti dan meyakinkan, yaitu Apakah
benar bahwa butir-butir Pancasila itu dilahirkan dari pemikiran-pemikiran
Soekarno selama di Ende. Jejak-jejak terlihat sebagaimana disebutkan di
atas (Rumah dan segala perabotannya, foto-foto keluarga, makam, dan lain-lain)
menunjukan fakta bahwa benar, Soekarno pernah berada di Ende. Namun apakah di
antara jejak-jejak itu, ada yang menunjukan atau mengarahkan atau menguatkan bahwa
inspirasi lahirnya Pancasila dimulai dari Ende, atau bahkan Pancasila
dilahirkan di Ende? Demikian pula pendapat atau ceritera yang (menurut kami)
belum diyakini sepenuhnya oleh seluruh warga masyarakat Indonesia, yaitu yang
mengatakan bahwa di bawah pohon sukun itulah butir-butir Pancasila ditemukan
Bung Karno.
Pada tulisan di bawah ini kita mencoba mengupas, setidaknya
mencoba menganalisa berdasarkan beberapa fakta sejarah (situs, dokumen-dokumen
dan ceritera-ceritera) berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan di atas.
Ende, sebagai tempat lahirnya inspirasi (konsep) : menyatunya keberagaman Indonesia;
Meskipun merupakan masa-masa sulit dalam pengasingan, namun sebagai
tokoh sentral dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, kehadiran beliau di Ende
memberikan warna tersendiri bagi warga masyarakat Ende waktu itu. Kedekatannya
dengan beberapa tokoh masyarakat dan bahkan para pastor yang adalah “orang
belanda” di Ende merangsang pemikirannya untuk menemukan nilai-nilai pemersatu
bangsa yang akan dijadikannya sebagai pegangan (dasar) di kala Indonesia
merdeka nanti. Satu pertanyaan yang menggelitik beliau dalam satu pertemuannya
dengan dua orang pastor Belanda sahabatnya, yaitu P. Johanes Bouma dan P.
Huijtink, adalah ; pertama : dimana
tempat ibumu yang beragama Hindu itu di dalam negara yang mayoritas muslim ini?,
kedua : dimana tempat orang-orang Flores
yang mayoritas katolik ini di dalam negara yang marxis dan mayoritas muslim
itu?. Keberagaman yang ditemukan dan dialami beliau selama di Ende, menjadi
inspirasi tersendiri dalam menyatukan keberagaman Nusantara.
Pohon sukun merupakan tempat permenungan;
Selama masa pengasingannya di Ende, Bung Karno banyak
menghabiskan waktu senggangnya di bawah sebuah pohon sukun di tepi pantai, untuk
duduk menyendiri, bersantai, sambil merenungi konsep-konsep apa yang akan ia
wujudkan jika suatu saat Indonesia mencapai kemerdekaannya, terutama mengenai asas-asas
pemersatu negara bangsa yang majemuk ini.
Suasana sejuk dan hening di bawah pohon sukun, ditemani
suara deburan ombak dan tiupan angin laut, memberinya perasaan rileks yang
mendalam dan kenyamanan dari bebagai tekanan yang ia alami. Pikiran-pikiran
besar biasa dilahirkan secara spontan ketika seseorang sedang dalam keadaan
rileks dan santai serta dalam suasana hati yang damai, apalagi ditemani suara
alam yang mententeramkan jiwa. Tanpa beliau sadari, suasana di bawah pohon sukun menjadi daya tarik baginya karena di sana ia mendapatkan ketenangan batin
dan menghabiskan waktu luang. Tapi apakah benar bahwa di bawah pohon sukun
inilah terlahir inspirasi dasar negara Pancasila? Perlu dilakukan pembuktian
mendalam mengenai ini.
Yang Menarik dari Sila Pertama
Kalau pendapat yang mengatakan bahwa Pancasila dilahirkan
di Ende, mungkin dapat dibenarkan, jika kita mendalami kalimat pada sila
pertama. Ada sebuah bukti yang menunjukan ciri khas ke-Ende-an dari sila
pertama yang dicetuskan beliau ini, yaitu penggunaan kata “Esa” dari kalimat “Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Sebagaimana diakui, bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang
hidup, yang senantiasa berkembang dan bertambah keberagaman (diperkaya)
kosa-katanya baik dari bahasa asing (Melayu, Belanda, Arab, Latin, Sansekerta, dan
lain-lain) maupun dari bahasa-bahasa daerah. Tidak diketahui pasti (dan menurut
kami harus diperdalam melalui penelitan demi penelitian) mengenai keberadaan
kosa kata “Esa” dalam bahasa Indonesia saat itu (antara tahun 1934 - 1938).
Sepengetahuan kami, dalam bahasa Ende-Lio (yang merupakan bahasa ibu yang
tumbuh dalam sejarah suku Ende-Lio sejak jaman nenek moyang), kata “Esa” berarti “Satu” atau “Tunggal”. Di
dalam bahasa sansekerta tidak ditemukan kata “Esa”, melainkan kata “Tunggal”
untuk menunjukan pengertian atau sifat “Satu”.
Selama di Ende, tentu beliau banyak bertemu dan
bersosialisasi dengan masyarakat Ende, meski pun tidak begitu bebas, karena selalu
dalam pengawasan kolonial Belanda. Kemungkinan dalam mengkonsepkan pemikiran
bahwa “bangsa Indonesia memiliki Tuhan
yang satu, yang memiliki sifat tunggal” beliau terinspirasi menggunakan
kosa kata bahasa Ende-Lio untuk menyatakan sifat Tuhan yang “tunggal” atau “satu”
itu. Dari pemikiran briliannya, beliau akhirnya meninggalkan jejak ke-Ende-an dengan
menyisipkan kata “Esa” dalam kalimat sila pertama Pancasila.
Ramalan tentang kemedekaan Indonesia pada salah satu tonilnya;
Selain sebagai tempat inspirasi
lahirnya Pancasila, di Ende pula beliau menyatakan “ramalan”nya tentang
kemerdekaan Indonesia di tahun 1945, yaitu melalui salah satu judul tonil yang
di tampilkan oleh kelompok tonil “Kelimutu”
yang dibentuknya, dalam pementasan di gedung Imaculata. Tonil itu berjudul “Dokter Syaitan”. Meskipun saat itu
masih dianggap merupakan sebuah hasil karya fiksi (hasil imajinasi), namun di
dalam naskah “Dokter Syaitan”, beliau
secara terang-terangan mengungkapkan tanggal bakal lahirnya negara Indonesia.
Hal ini tidak dipahami oleh para penonton tonil pada masa itu, termasuk “orang
belanda” yang ikut menyaksikan. Inilah salah satu kehebatan seorang Soekarno,
memiliki daya imajinasi yang kuat dan naluri serta firasat yang tajam, terutama
tentang masa depan Indonesia.
Pembuktian lain yang menyatakan ketajaman naluri dan
firasat beliau akan masa depan bangsa dibuktikan dalam salah satu pidatonya
atau kalimat (pesan) yang pernah diucapkannya, yang apabila dilihat pada
fakta-fakta yang terjadi pada negara ini di saat ini, ternyata mulai terbukti
kebenarannya. Kalimat ucapannya itu bahwa “Perjuanganku
sangatlah mudah, karena untuk mengusir penjajah, namun perjuanganmu akanlah sulit, karena melawan bangsamu
sendiri”.