Featured Post

Danau Kelimutu dan Pesona 3 Warna Air yang Dilihat dari Langit

Keindahan Danau Kelimutu membuat banyak orang ingin ke sana. Tapi memang tidak mudah mencapai puncak gunung Kelimutu untuk menatap keind...

Monday, July 1, 2013

Tari Caci, simbol kepahlawanan dan keperkasaan

Dua pria tegap berdiri saling berhadapan. Yang satu memegang cambuk siap menyerang, lainnya siap mengambil gerakan menangkis. Di dahului dengan nyanyian seorang pemuda satu kelompok yang menantang seorang pemuda lainnya dari kelompok lawan. Tantangan itu disambut senandung dari kelompok sebelah. Pemuda dari kelompok yang ditantang maju dengan gerakan tarian. Tangan, kepala dan kakinya bergerak seirama lagu yang dimainkan.


Ctaarr!!...., suara cambuk menyalak mengenai tubuh pria di depannya. Luka memerah pun terlihat pada bagian tubuh yang terkena cambukan tersebut. Pemuda sebelah balas mencambuk. Tapi sang lawan pandai berkelit, serangannya cuma membentur tameng. Sekali lagi, ctaaarr!!.... kali ini serangan si pemuda yang terluka mengenai sasaran. Anehnya, tidak tampak rasa kesakitan pada wajah keduanya, meski sabetan cambuk begitu kerasnya. “hahahaha....”, justru gelak tawa dan sorak sorai membahana mengiringi adegan menegangkan tersebut.


Itulah tari Caci, sebuah tarian perang khas suku Manggarai (salah satu suku besar yang mendiami pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur), yang melambangkan kepahlawanan dan keperkasaan. Tarian ini memang melibatkan dua orang pria. Jika yang satu bertindak sebagai penyerang, maka yang lainnya harus bertahan atau menangkis serangan. Biasanya terdapat dua kelompok yang saling berhadapan dengan beranggotakan masing-masing delapan orang. Meskipun saling cambuk menjadi bagian dari tarian ini, namun diantara kedua kelompok tersebut tidak meninggalkan perasaan dendam baik selama maupun setelah tarian ini ditampilkan.

Caci adalah permainan rakyat Manggarai yang biasa dilakukan pada upacara-upacara adat atau upacara kenegaraan. Kata “Caci” sendiri berasal dari kata “Ca” yang artinya “Satu” dan “Ci” yang berarti “Uji”. Jadi “Caci” diterjemahkan sebagai “menguji ketangkasan satu lawan satu”.
Menurut kepercayaan masyarakat Manggarai, bagian tubuh penari Caci yang terkena cambuk akan menjadi penanda penting. Jika bagian punggung yang terkena cambuk, itu berarti panen akan menjanjikan. Darah yang keluar dari luka cambukan, merupakan persembahan kepada leluhur untuk kesuburan tanah. Meskipun awalnya tarian Caci dilakukan sebagai wujud rasa syukur atas keberhasilan panen, namun dalam perkembangannya, Caci juga biasa ditampilkan pada saat upacara pembukaan lahan baru, upacara penyambutan tamu, dan saat perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia.



Hanya pria pilihan

Tidak semua orang Manggarai layak menjadi penari atau peserta Caci. Selain harus pria, persyaratan lainnya adalah mahir mencambuki lawan, terampil menangkis serangan, berbadan atletis, luwes dan lincah dalam melakukan gerakan tari, juga harus bisa menyanyikan syair-syair lagu setempat selama memainkan tarian tersebut. Permainan Caci ini juga dapat dijadikan sebagai pengalaman berharga bagi para anggota suku Manggarai, terutama dalam mengendalikan emosi dan perasaan dendam. Maklum, meski saling mencambuk, tata krama dan sopan santun dalam gerakan di arena tetap diperhatikan dan dilaksanakan. Para pemain saling memberi hormat sebelum dan setelah beradu.

Meskipun bukan merupakan jenis gerakan bela diri, Caci juga memiliki beberapa ketentuan dalam melakukannya, yaitu hanya diperbolehkan menyerang bagian tubuh lawan dari perut hingga kepala, sedangkan bagian perut ke bawah tidak diperkenankan. Terkadang, mengenai mata pun menjadi hal yang biasa.

Dalam penuturan para orang tua Manggarai, di masa lalu, pernah beberapa penari Caci bahkan mengalami kondisi beke atau rowa yang parah, seperti biji mata yang jatuh ke tanah, akibat terkena cambukan. Para tetua adat meyakini, jika terjadi kondisi demikian, ini disebabkan oleh sikap si petarung (pemain Caci) sendiri yang melupakan adat, atau tidak menghormati tradisi, atau melanggar ketentuan-ketentuan adat. 

Sebelum Caci dilangsungkan, dipanjatkan nyanyian atau yang disebut sebagai kelong, sebagai panggilan kepada arwah para leluhur. Saat kelong dilantunkan (yang diikuti dengan tandak atau danding), maka Caci harus dilaksanakan. Kelong selalu menyatu dengan Caci. Tidak ada kelong tanpa Caci, atau sebaliknya.



Asal mula tarian Caci

Masyarakat Manggarai percaya dengan asal mula tarian Caci ini. Dikisahkan para tetua adat, bahwa, pada jaman dahulu kala, ada dua orang kakak beradik berjalan bersama seekor kerbau milik mereka melintasi padang rumput. Pada sebuah tempat, si adik tida-tiba terjerumus ke dalam sebuah lubang, yang membuat sang kakak panik dan mengusahakan berbagai cara untuk menarik adiknya keluar. Tidak ada yang bisa dilakukan sang kakak saat itu, selain dengan menyembelih kerbau miliknya untuk diambil bagian kulitnya sebagai alat untuk menarik sang adik. Upaya tersebut akhirnya berhasil, dan sang adik dapat diselamatkan. Untuk merayakan kejadian itu, mereka menciptakan permainan Caci sebagai wujud rasa kasih sayang.

Penghargaan terhadap pengorbanan si kerbau ditunjukan dari beberapa aksesoris yang dipakai pada permainan Caci. Jika diperhatikan, pakaian yang dikenakan para pemain Caci memang terlihat unik dan menarik. Mereka mengenakan celana panjang berwarna putih polos, dipadu dengan kain songket yang dipakai dari pinggang hingga lutut. Bagian tubuh sebelah atas dibiarkan telanjang, sebab bagian tubuh tersebut dijadikan sebagai sasaran bagi serangan lawan. Pada bagian kepala, para penari mengenakan panggal (topeng) yang bentuknya menyerupai tanduk kerbau. Panggal memang terbuat dari kulit kerbau yang mengeras yang dihiasi dengan kain warna warni. Panggal akan menutupi sebagian muka yang sebelumnya sudah dibalut dengan handuk atau destar sebagai pelindung. Sementara itu, penari yang berperan sebagai ta’ang (penangkis serangan) dibekali nggiling (perisai) yang juga terbuat dari kulit kerbau yang dikeringkan dan berbentuk bundar. Ia juga memegang agang atau tereng (sejenis busur yang terbuat dari bambu dan rotan yang berjalin dan dibentuk melengkung serupa busur). Aksesoris tersebut dilengkapi pula dengan lonceng–lonceng kecil atau giring-giring yang diikatkan pada bagian pinggang dan pergelangan kaki, yang menimbulkan bunyi-bunyian gemerincing saat penari Caci memainkan gerakan-gerakannya.



Itulah Caci, sebuah keunikan tradisi suku Manggarai yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya.


Tari Caci Dalam Gambar :




Pesona Wisata Manggarai Barat :
Reservasi Hotel di Labuhan Bajo :
Pesona Wisata Manggarai Timur :
Pesona Wisata Ende :

Booking.com