Kota Ende (Tampak dari puncak Aekipa, Ndona) |
ENDE.... selain sebagai tempat adanya tiga danau berwarna Kelimutu yang menjadi keajaiban dunia, sebuah kekhasan potensi lokal yang mendunia. Kini nama Ende kembali dibicarakan tatkala orang menyusuri sejarah lahirnya Pancasila.
Banyak negara kini telah mengagumi adanya Pancasila sebagai "Jiwa", "Pedoman Hidup" dan "Pilar" bangsa ini. Sangat membanggakan...!!, karena kelima sila Pancasila telah menjaga keutuhan bangsa ini hingga kini. Kepada Cindy Adam, Bung Karno pernah mengatakan bahwa Ia tidak menciptakan Pancasila. Ia hanya menggali tradisi bangsa ini jauh sampai ke dasarnya. Tradisi itu digali ketika beliau berada dalam pengasingan di Ende. Atas pengakuan Bung Karno ini, Ende kini dikenal sebagai kota "Rahimnya Pancasila".
Membicarakan nama "Ende".. apakah Anda juga mengetahui bagaimana seluk beluk dan asal usul nama ini..? Dalam sebuah diskusi di gedung Ine Pare pada tanggal 9 Agustus 2004 yang lalu, setidaknya ada dua versi yang berkembang mengenai asal-usul nama Ende ini.
Versi pertama, kata
Ende diperkirakan berasal dari kata Cindai. Dalam kamus disebutkan bahwa Cindai adalah nama kain sutera yang
berbunga-bunga.
Terkait dengan ini, Pua Mochsen menulis bahwa kata Ende berasal dari kata Ciendeh, yang ada hubungannya dengan kata Cindai dan Cinde, yaitu nama kain adat yang terbuat dari sutera yang biasa dipakai oleh penduduk dalam upacara-upacara adat. Cindai atau Cinde ini menjadi barang dagangan yang berasal dari india. Dengan demikian diperkirakan Ende berasal dari Cinde dan Cindai yang kemudian berubah menjadi Ciande dan Ciendeh, dan dalam perkembangannya menjadi Endeh atau Ende (Mochsen, 1984:1).
Versi lain menyebutkan bahwa, kemungkinan Ende berasal dari
kata Cinde, yaitu nama sejenis ular Sawa. Sawa adalah ular yang agak besar
(phyton), diantaranya Sawa Rendem, Sawa Batu, dan Sawa Cindai. Di sekitar Kaburia, nama tempat, nama teluk, pulau dan
gunung pesisir utara juga menggunakan nama Ciendeh,
Cinde, Kinde, dan Sinde, seperti
: Pulau Ciendeh, Tanjung Ciendeh, dan pelabuhan Ciendeh.
Selanjutnya
nama tersebut di atas digunakan untuk nama kota, teluk, dan nusa Ende yang pada awalnya disebut Endeh, kemudian menjadi Ende. Hingga kini belum dapat dipastikan
kebenarannya apakah nama Endeh dan Ende memang ada hubungannya dengan Sawa Cindai. Dapat ditandaskan disini
bahwa apabila nama Endeh dan Ende itu berhubungan dengan nama Sawa Cindai, tentu disebabkan sudah
mengalami banyak perubahan dalam pengucapan. Jadi, nama-nama Cendau, Cindau, Sandau, Ciendeh, Cinde,
Kinde, Sinde, Endeh, dan Ende
adalah nama yang setingkat, dilihat dari nama beretimologi sama yaitu dari
istilah Cindai atau Sawa Cindai (Orinbao, 1969: 159).
Dengan
adanya hubungan etimologik bagi nama kota Ende dan pulau Ende yang disinyalir
dari istilah Sawa Cindai, maka dapat
diketahui bahwa dalam perjalanan waktu nama kota Ende dan Nusa Ende telah
mengalami pergantian sebutan. Tulisan dan ucapan nama kota dan nusa Ende sekarang biasa tanpa huruf h, akan tetapi dalam tulisan dan ucapan
terjemahan kata Ende dalam ejaan
latin masih biasa ditulis dengan huruf h
menjadi Endeh.
(Catatan : Menurut pendapat kami, kemungkinan juga nama Ende berasal dari nama sejenis tanaman. Hal ini dilatarbelakangi kebiasaan orang Ende dan Lio yang selalu memberi nama tempat berdasarkan nama pohon atan tanaman yang tumbuh mendominasi di lokasi itu. Misalnya nama Boafeo-Feo adalah sebutan untuk Kemiri, Wolojita-Jita adalah sejenis pohon kayu-kayuan yang oleh orang bali biasa dibuat patung, Onekore- Kore adalah sejenis tanaman semak atau perdu-perduan berbunga putih, serta banyak lagi contoh lainnya)....
Lalu..sejak kapankah nama Ende mulai dikabarkan?
Lalu..sejak kapankah nama Ende mulai dikabarkan?
Terlepas
dari asal nama Ende yang sampai
sekarang belum dapat dipastikan, nama Ende
sudah cukup lama dikenal oleh dunia internasional. Hal ini dapat dilihat dalam
majalah Belanda BKI jilid ketiga yang terbit tahun 1854 (halaman 250) dimana
nama Ende sudah disebut dengan jelas.
Salah satu artikelnya berupa laporan tertulis Predicant (pendeta) Justus
Heurnius yang menceritakan keadaan daerah Ende
pada masa awal perkembangan agama kristen dan tentang keadaan di Bali pada
tahun 1638.
Pada
tahun 1888, Prof. A. Wichmann dan Max Weber juga telah mengunjungi Ende. Selama masa penjajahan Belanda,
nama Ende yang seering juga ditulis Endeh dikenal sebagai ibukota Afdeeling Flores dan sekaligus ibukota Ondeerafdeeling Ende. Sejak itu nama Ende atau Endeh selalu digunakan dalam buku-buku untuk sekolah-sekolah Bumi
Putera dalam Karesidenan Timor yang diterbitkan di tahun 1914.
Van
Suchtelen dalam bukunya berjudul “Endeh”
yang terbit tahun 1921 juga menulis bahwa pada tahun 1560 seorang Pater
Dominican dari Portugis yaitu Pater Taveira telah membaptis orang-orang di
Timor dan Endeh sebanyak 5.000 orang
lebih. Pada tahun 1570, disebutkan bahwa ada bajak laut dari Jawa yang membajak
dan membunuh di Pulau Endeh.
Orang-orang kristen mengungsi dan dikumpulkan oleh Pater Simao Pacheco yang
mendirikan benteng “Fortolessa de Ende
Minor” di Pulau Endeh untuk melindungi para misionaris Dominican dari Solor.
Dengan adanya beberapa tulisan yang menyebutkan nama Ende sebagaimana disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
nama Ende sekurang-kurangnya sudah dikenal
sejak tahun 1560 dan digunakan sampai sekarang.
Bekas Peninggalan Benteng Portugis di Pulau Ende |
Pustaka Sumber :
=========