Menarik memang, melihat ruang perdebatan di salah satu forum di sebuah media sosial baru baru ini. Obyek yang ramai diperbincangkan adalah penggunaan ruang lokasi situs (Situs Taman Perenungan Bung Karno di Ende) oleh pejabat untuk kepentingan resepsi pernikahan (berdasarkan informasi yang diperoleh dari berbagai perbincangan, ternyata lokasi tersebut sedang diusulkan menjadi lokasi Cagar Budaya).
Perbincangan ini mulai ramai sejak hari Rabu, tanggal 9 september 2015, dua hari menjelang dilangsungkannya resepsi pernikahan tersebut, yaitu pada tanggal 11 September 2015.
Menjadi ramai?.. ya karena resepsi tersebut dilakukan di sebuah areal situs bersejarah di kota Ende, yaitu situs Taman Perenungan Bung Karno. Situs ini sebelumnya telah diresmikan oleh Bapak Budiono, Wakil Presiden RI pada tanggal 1 Juni 2013 yang lalu. Situs ini menjadi satu rangkaian areal situs bersejarah bersama dengan situs Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende.
Berbagai tanggapan dilontarkan, terutama oleh warga Kabupaten Ende, baik yang bermukim di Ende maupun di luar kota Ende.
Ya memang, keberadaan media sosial kini membuat sebuah kejadian di sebuah lokasi menjadi cepat diketahui dan ramai diperbincangkan oleh orang-orang dari berbagai domisili, juga dari berbagai profesi, berbagai suku, agama, dan sebagainya.
Terkadang, memang sebuah perbincangan yang ramai di media sosial memang bermanfaat positif, yakni menjadikan semua orang yang terlibat di dalamnya menjadi cepat mengetahui akan sebuah persoalan atau kejadian, yang lalu menanggapinya dari perspektif mereka. Tapi apakah perbincangan ini bisa dilokalisir untuk menghindarinya dari dampak negatif, setidaknya dari obyek yang diperbincangkan, atau dari segi etika, atau mensterilkannya dari perbincangan ke arah Sara dan sebagainya?.
Berbeda dengan sebuah diskusi terbuka melalui tatap muka langsung, dimana semua orang yang berdiskusi saling melihat satu sama lain, dan dilengkapi dengan seorang Moderator diskusi. Perbincangan di sebuah media sosial tidak bisa dikendalikan sepenuhnya seperti diskusi tatap muka ini. Tidak ada Moderator yang mengendalikannya. Semua orang menjadi bebas mengeluarkan pendapat dan berpeluang menjadi tidak korelatif satu dengan lainnya. Kadang justru menjadi perdebatan satu arah antara dua orang yang saling bersilangan pendapat, tanpa bisa dikendalikan, karena memang tidak ada sang Moderator dalam diskusi demikian.
Karena diikuti oleh orang-orang dari berbagai latar belakang sosial, profesi, tempat tinggal yang berbeda, dan bahkan usia, maka perbincangan menjadi tidak terarah. Celakanya, jika perbincangan tersebut mengenai nama seseorang, atau seorang publik figur yang melakukan suatu tindakan yang akhirnya menjadi kontroversial. Kontroversial ini terjadi karena latar belakang tadi, yaitu perbedaan dalam hal sosial, budaya, pengetahuan, profesi, usia, tempat tinggal, keluarga, agama, pengalaman, tingkat pemahaman, dan sebagainya. Ruang yang biasanya menjadi kontroversial adalah ruang etika, moral, dan norma yang tidak memiliki ukuran (parameter) yang jelas. Pembicaraan yang berkaitan dengan tiga dimensi ini memang tidak akan ada habisnya, apalagi dilakukan di media sosial.
Terkadang orang terjebak dalam sebuah pendapat atau pemahaman, bahwa ketika seseorang itu disudutkan dari sisi etika, moral, atau norma (menurut pandangan kelompok mereka), maka orang tersebut akan salah dari sisi itu. Bahkan ada yang mengaitkannya, jika sudah salah dari sisi etika, moral, atau norma, maka otomatis juga akan salah dari sisi hukum (menyalahi hukum positif yang berlaku). Inilah yang dikenal dengan istilah media sosial “diBully”. Ketika seseorang dibully hanya dari sudut pandang etika, atau moral, apakah itu sebuah keadilan?. Jelas perbicangan seperti ini bukan sebuah keadilan, karena selain penilai terhadapnya dilakukan hanya dengan pendasaran pada faktor-faktor yang sangat subyektif (sesuai latar belakang sang penilai) sebagaimana disebutkan di atas, juga banyaknya orang yang berpendapat sama tidak menjamin kualitas kebenaran dari pendapat tersebut. Kebenaran tidak ditentukan oleh jumlah para pendukung, tapi lebih ditentukan oleh kualitas fakta-fakta riil yang bisa dihadirkan untuk pembuktiannya. Dampaknya adalah, bagai pepatah mengatakan “Walau Anjing menggonggong, namun Kafilah tetap berlalu”.
Perbicangan atau diskusi–diskusi informal di media sosial bukanlah sebuah proses peradilan, karena selain tanpa dasar hukum yang jelas, juga sangat berpotensi berkembang ke arah yang negatif. Peluang inilah yang sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang disebut sebagai profokator, atau orang yang mulai memancing di air keruh, yang pandai memanfaatkan suasana untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Sebuah diskusi akan menjadi menarik, obyektif dan terkendali jika orang-orang yang terlibat di dalamnya mengetahui persis apa yang dipersoalkan atau didiskusikan. Jika menyangkut suatu kejadian, tentunya harus berpedoman pada rumusan 5W1H. What? (Apa yang terjadi?), Why? (mengapa itu terjadi?, ini menyangkut alasan atau latar belakang kejadian itu), When? (kapan itu terjadi?, ini menyangut waktu kejadian itu), Where? (dimanakah terjadinya itu?, ini menyangkut lokus atau tempat kejadian itu), Whom? (siapakah yang melakukannya?, ini menyangkut pelaku kejadian serta siapa-siapa yang terlibat di dalamnya), dan How? (bagaimanakah sebenarnya kejadian itu?, ini menyangkut kronologisnya, atau urut-urutan kejadian itu dari waktu-ke waktu).
Ketika semua peserta diskusi memiliki pengetahuan yang sama tentang persoalan yang dibahas tersebut, maka diskusi akan menjadi semakin berkualitas. Namun ketika semua orang yang terlibat berdiskusi tidak seluruhnya mengetaui persis kejadiannya (5W1H di atas), maka perbincangan akan menjadi tidak terarah, orang Jawa mengatakan “ngalor-ngidul”, alias “utara-selatan”. Inilah yang menjadi titik rawan perbincangan di media sosial, yang akhirnya dapat mengarah kepada isu Sara, Fitnah, atau membully tanpa dasar. Apalagi jika hanya dilandasi oleh etika, norma, dan moral, yang tidak tertulis, dan ukurannya sangat subyektif.
Etika, norma, dan moral (yang tidak tertulis) sangat dipengaruhi oleh faktor latar belakang budaya, agama, dan adat istiadat seseorang.
Terkait dengan ini, penulis mencoba menceritakan pengalaman sederhana. Begini, suatu kali ketika kami bersama teman-teman berekreasi ke pantai Kuta di Bali. Waktu itu kami sedang mengikuti diklat teknis yang dilaksanakan di sana. Di pantai, kami membawa makanan-makanan ringan, juga minuman (beberapa botol bir). Karena suasana ombaknya yang tenang, sebagian teman-teman sekaligus memanfaatkan kesempatan itu untuk mandi. Mereka hanya memakai celana dalam dan tidak berbaju saat mandi. Ketika itu, lewatlah seorang bule, yang lalu bertegur sapa demikian. “Wah..lagi pesta nih?.. kami pun terheran-heran..apakah memang kita lagi pesta?. Lalu, melihat teman-teman yang hanya mengenakan celana dalam, si bule itu pun mengatakan.. “Wah .. ini porno namanya..”. Dan kami pun kembali terheran-heran.
Ternyata, setelah ditanya-tanya, menurut kebiasaan orang barat (turis), jika kita berkumpul lebih dari dua orang dengan ditemani makanan dan minuman, maka kita dianggap sudah berpesta. Dalam pandangan kita orang Flores, yang dimaksud pesta adalah dibuat di sebuah panggung atau gedung, atau suatu tempat terbuka, dengan banyak orang (tamu) yang datang, banyak kursi, dan makanan-minuman, serta musik ramai dan kencang. Ternyata pandangan ini berbeda oleh karena perbedaan budaya.
Hal lainnya, yaitu soal sebutan “Porno” tadi. Bagi si bule, teman-teman yang hanya bercelana dalam itu porno (melakukan porno aksi). Tapi bagi kami yang orang Flores, itu belum disebut porno, karena mereka tidak bugil, namun masih mengenakan celana dalam. Ternyata, orang bule menyebut itu porno karena ukurannya adalah pada “apa yang digunakan saat mandi di tempat umum seperti itu, bukan bikini atau pakaian renang, itu sudah masuk kategori porno”. Hehehe... ini berbeda dengan pandangan kami yang adalah orang Flores, kalau porno itu jika seseorang sudah telanjang polos di tempat umum, termasuk saat mandi.
Dari pengalaman di atas, memang pandangan tentang norma, etika, atau moral itu, sepanjang tidak diatur secara tertulis, menjadi debatable (tidak habis diperbincangkan atau diperdebatkan), karena ukuran yang dipakai sangat beragam, tergantung berbagai latar belakang sebagaimana disebutkan di atas. Ini menjadi sangat tidak adil, jika model pandangan yang demikian kita gunakan untuk menjustifikasi (menghakimi) orang lain, yang kita anggap salah dari sisi itu. Padahal ini mungkin berbeda dari sisi budaya satu dengan lainnya, apalagi dari sisi hukum positif (hukum tertulis).
Ketika sebuah perbincangan menjadi tidak terarah, maka kita yang terlibat di dalamnya menjadi pihak yang akhirnya menjustifikasi orang lain tanpa dasar yang jelas. Apalagi sampai memaki-maki, menjelekkan nama orang, memposting status dengan fakta-fakta yang diragukan kebenarannya.
Ini tentunya berbeda jika obyek perbincangan tersebut dimasuki lewat norma atau aturan tertulis sesuai hukum yang berlaku. Hukum positif merupakan aturan yang telah diterjemahan secara tertulis dari norma, etika atau moral yang berlaku di masyarakat. Hukum tertulis ini berlaku secara universal. Jika dibuat oleh suatu kota/kabupaten, maka hanya berlaku di wilayah kota/kabupaten tersebut. Jika dibuat oleh suatu provinsi, maka hanya berlaku di wilayah provinsi tersebut. Juga, jika dibuat oleh suatu Negara, maka hanya berlaku di wilayah Negara tersebut. Ia melampaui dimensi budaya atau adat istiadat yang biasanya hanya berlaku di tingkat lokal.
Hukum tertulis itu juga merupakan norma, etika atau moral, namun ia dituangkan secara jelas dalam pasal-pasalnya secara tertulis. Perbincangan tentangnya hanya berkaitan dengan pasal-pasal yang ada dalam aturan hukum itu sendiri, yang dapat dikaitkan dari satu aturan hukum tertulis dengan aturan hukum tertulis lainnya yang setara atau yang lebih tinggi. Terkait sebuah persoalan atau perbuatan, dalam penerapan hukum tertulis, rumusan 5W1H di atas dapat dipergunakan secara jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini berbeda jika sesuatu (perbuatan) hanya dinilai dari sisi norma, etika, atau moral yang tidak tertulis, karena selain hanya berlaku lokal (sesuai adat, budaya), juga maknanya bisa bergeser sesuai perkembangan jaman.
Itulah sedikit pandangan mengenai kualitas perdebatan di media sosial. Kita pasti tidak ingin menjustifikasi seseorang, hanya karena perbuatannya dipandang melenceng dari etika, moral, dan sebagainya yang ada di benak kita masing-masing. Kan jadinya tidak ada habis-habisnya. Dari perdebatan yang demikian, justru bisa menjadi bumerang bagi kita sendiri, ketika kita sudah mulai keluar dari jalur etika atau norma hukum (tertulis) yang berlaku, seperti menghujat, memaki-maki, memfitnah, memposting sesuatu tanpa bukti yang kuat, menyinggung soal Sara, dan sebagainya. Jika sampai terjadi demikian, maka bisa saja kita akan terjerat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik-download saja DISINI, jika tidak bisa download, pasang dulu IDM). Semoga kelak tidak terjadi demikian. Wassalam...(Author : yosef Kota).