Featured Post

Danau Kelimutu dan Pesona 3 Warna Air yang Dilihat dari Langit

Keindahan Danau Kelimutu membuat banyak orang ingin ke sana. Tapi memang tidak mudah mencapai puncak gunung Kelimutu untuk menatap keind...

Thursday, March 20, 2014

Budaya Material (Mengenal Adat Moni Koanara) (6/11)

(Mengenal Adat Moni Koanara-Ende)

Budaya Material
Masyarakat Moni juga memperlihatkan kreativitas di bidang teknologi dan kesenian. Mereka misalnya memiliki teknologi di bidang pertanian dan beberapa kesenian, seperti seni pahat dan seni arsitektur. Seni karya tidak berkembang di Moni. Menurut penuturan beberapa tokoh masyarakat, beberapa Ria Bewa dan Atalaki Koe Kolu,
yaitu nenek moyang mereka di masa lampau, pernah mengembangkan seni karya. Namun sejak beberapa dasa warsa yang lalu, seorang raja Lio melarang orang Moni menenun kain tradisional, karena alasan ekonomis. Hal ini beralasan karena wilayah Moni merupakan wilayah subur penghasil beras. Wilayah ini dijadikan lumbung padi untuk wilayah Lio Timur. Oleh karena itu, masyarakat Moni tidak diperbolehkan menenun. Mereka diwajibkan membeli kain dari masyarakat Lio Timur dengan penukaran (barter) dengan beras.
Nua (Kampung)
Kesatuan teritorial terkecil pada masyarakat Moni adalah Nua atau Kampung. Dalam Nua itu biasanya tinggal beberapa kelompok suku yang masih seketurunan. Di kampung Koanara misalnya, bermukim suku Wangge Elu/Ndito, suku Komba Elu, dan suku Laka Elu, yang semuanya mengklaim diri sebagai keturunan Moni. Menurut Pastor Piet Petu, seorang ahli kebudayaan Lio, struktur Nua orang Moni mengambil pola medan perang, yakni struktur segi empat. Benteng dibangun di empat penjuru untuk melindungi kampung dari serangan musuh dari semua arah. Perkampungan orang Moni itu memiliki beberapa unsur penting seperti Rumah Adat, Kuwu, Kebo, Lewa, Saga, dan Kanga.

a.       Rumah Adat
Bangunan yang paling menonjol di setiap Nua adalah rumah adat. Secara turun temurun rumah adat orang Moni selalu berpasangan. Rumah yang satu bernama Sa’o Ria, sedangkan pasangannya adalah Sa’o Kedha.
Dari kejauhan, kedua rumah itu tampaknya sama saja (terutama bagian atapnya). Namun jika diamati secara seksama dari dekat, terdapat perbedaan besar antara keduanya. Jika Sa’o Ria berdinding, maka Sa’o Kedha adalah bangunan tanpa dinding. Fungsi masing-masing rumah adat itu pun berbeda.
Sa’o Ria adalah tempat tinggal Atalaki Pu’u/ Ine Ame dengan keluarganya. Juga dengan saudara-saudaranya. Sa’o (rumah) ini juga berfungsi sebagai tempat dilaksanakannya upacara-upacara (seremonial) adat seputar pertanian, kelahiran, perkawinan, dan kematian. Sa’o merupakan simbol kewanitaan atau kesuburan.
Pada pihak lain, Sa’o Kedha yang tak berdinding itu tidak dihuni. Rumah itu dibiarkan kosong, dan hanya dipakai beberapa kali dalam setahun, yakni bilamana pemuka-pemuka adat membicarakan persoalan-persoalan penting yang menyangkut kepentingan seluruh suku. Karena itu, maka Sa’o Kedha dianggap sebagai simbol kelelakian atau kejantanan.

b.        Kuwu/ Bhaku
Kuwu atau Bhaku adalah sebuah rumah kecil yang dibangun di depan Sa’o Ria. Rumah kecil ini pun tak berdinding. Ia berfungsi sebagai tempat pertemuan informal. Kerap kali, tamu diterima pertama kali ditempat ini, sebelum diterima di dalam Sa’o Ria. Kadang pula, tuan rumah menjamu tamu-tamunya di Kuwu ini.

c.         Kebo
Ada pula rumah kecil yang dinamakan Kebo. Disitulah disimpan padi dan jagung setelah panen. Setiap keluarga mempunyai satu Kebo. Karena berfungsi sebagai lumbung makanan, maka Kebo didirikan tidak jauh dari rumah tinggal.

d.        Lewa
Agak jauh disamping Sa’o Ria, berdiri sebuah bangunan kecil lagi yang dinamakan Lewa. Lewa tidak berpenghuni. Rumah itu didirikan khusus untuk memasak daging dari hewan-hewan besar, seperti kerbau, kuda, dan babi pada waktu diselenggarakan pesta adat.

e.         Saga
Di depan Sa’o Ria, disebalah kanan, berdiri sebuah tiang dari kayu yang dinamakan Saga. Tiang kayu itu setinggi sebatas lantai Sa’o Ria. Pada ujung atasnya ditaruh sebuah batu bulat tempat mempersembahkan sirih pinang untuk Du’a Ngga’e (Tuhan). Diatas ujung kayu tersebut, bertumpu sebatang bambu yang bersandar sepanjang rumah adat Sa’o Ria. Batang bambu ini terarah ke Anawula Leja, yakni sebatang bambu yang berdiri tegak di balok bubungan, disebelah kanan. Disebelah kanan ujung batang bambu ini juga ditaruh batu datar, untuk menaruh sirih pinang bagi Du’a Ngga’e.
Batang kayu dan kedua batang bambu di atasnya berfungsi menghubungkan “dunia atas” dan “dunia bawah”, “alam langit” dengan “alam bumi”.

f.        Kanga
Di depan Kedha dan Sa’o Ria terbentang sebuah Kanga, yakni sebuah pelataran bundar berpagar batu-batu (kota). Di sebuah Nua bisa terdapat lebih dari satu Kanga, bergantung pada banyaknya pasangan rumah adat. Di Koanara misalnya, terdapat dua Kanga, yakni Kanga suku Ndito, dan Kanga suku Moni/ Kombo.
Di tengah Kanga terdapat dua buah batu. Batu yang satu berdiri tegak, dinamakan Tubu Musu. Batu yang lonjong ini adalah unsur kejantanan, yang menghubungkan langit dan bumi.
Disamping Tubu Musu terdapat sebuah batu ceper bulat yang dinamakan Musu Mase. Diatas batu inilah ditaruh persembahan untuk nenek moyang.
Jika Tubu Musu yang vertikal melambangkan kahadiran imanen roh-roh nenek moyang, maka tak jauh dari Tubu Musu dan Musu Mase, melintang sebuah Rate atau kubur. Dalam kubur disemayamkan jasad Ata Laki Pu’u/ Ine Ame, selama menanti upacara pemetian tulang, yang kemudian akan ditaruh di dalam Bhaku.
Hal ini menunjukan bahwa, Nua (kampung) bagi orang Lio merupakan tempat tinggal manusia baik yang hidup maupun yang sudah meninggal. Menurut pemuka-pemuka adat di Koanara, Kanga dan rumah adat (Sa’o ria dan Kedha) merupakan satu kesatuan, yang merupakan inti dari sebuah Nua. Adanya Kanga di suatu tempat menandakan bahwa tempat itu telah dikuasai oleh suku tertentu. Di Koanara misalnya, menurut ceritera, sebelum Moni mendirikan Sa’o Ria dan Kedha, ia terlebih dahulu membangun Kanga, yang merupakan tempat suci dan simbol kekuasaan. Disitulah nenek moyang dikuburkan dan disuguhi persembahan. Di tempat ini pulalah mereka menyambut Du’a Ngga’e dalam upacara adat.

g.    Sa’o Ria
Sa’o berarti rumah, dan Ria berarti besar. Jadi Sa’o Ria berarti Rumah Besar. Inilah nama rumah adat orang Moni. Sebagai bangunan utama dan khusus, Sa’o Ria memang lebih luas dan tinggi dari pada rumah kebanyakan. Ia berbentuk rumah panggung yang besar, tanpa dilengkapi jendela. Dari jauh, dinding-dindingnya tidak kelihatan, sebab atap Sa’o Ria membentang/menjuntai hingga ke pertemuan lantai dan batas bawah dindingnya. Sa’o Ria itu menjulang tinggi, makin ke atas, atapnya makin kecil. Bubungan berbentuk runcing memanjang, sejajar dengan tampak depan.


Gbr : Sa'o Ria di Moni Koanara 
(Sumber : Arsitektur Tradisional Suku Lio oleh Mukhlis A. Mukhtar)
Baca Juga :


Booking.com