(Mengenal Adat Moni Koanara-Ende)
Budaya Material
Masyarakat Moni
juga memperlihatkan kreativitas di bidang teknologi dan kesenian. Mereka
misalnya memiliki teknologi di bidang pertanian dan beberapa kesenian, seperti
seni pahat dan seni arsitektur. Seni karya tidak berkembang di Moni. Menurut
penuturan beberapa tokoh masyarakat, beberapa Ria Bewa dan Atalaki Koe Kolu,
yaitu nenek moyang mereka di masa lampau, pernah mengembangkan seni karya. Namun sejak beberapa dasa warsa yang lalu, seorang raja Lio melarang orang Moni menenun kain tradisional, karena alasan ekonomis. Hal ini beralasan karena wilayah Moni merupakan wilayah subur penghasil beras. Wilayah ini dijadikan lumbung padi untuk wilayah Lio Timur. Oleh karena itu, masyarakat Moni tidak diperbolehkan menenun. Mereka diwajibkan membeli kain dari masyarakat Lio Timur dengan penukaran (barter) dengan beras.
yaitu nenek moyang mereka di masa lampau, pernah mengembangkan seni karya. Namun sejak beberapa dasa warsa yang lalu, seorang raja Lio melarang orang Moni menenun kain tradisional, karena alasan ekonomis. Hal ini beralasan karena wilayah Moni merupakan wilayah subur penghasil beras. Wilayah ini dijadikan lumbung padi untuk wilayah Lio Timur. Oleh karena itu, masyarakat Moni tidak diperbolehkan menenun. Mereka diwajibkan membeli kain dari masyarakat Lio Timur dengan penukaran (barter) dengan beras.
Nua
(Kampung)
Kesatuan
teritorial terkecil pada masyarakat Moni adalah Nua atau Kampung. Dalam Nua
itu biasanya tinggal beberapa kelompok suku yang masih seketurunan. Di kampung
Koanara misalnya, bermukim suku Wangge
Elu/Ndito, suku Komba Elu, dan
suku Laka Elu, yang semuanya
mengklaim diri sebagai keturunan Moni. Menurut Pastor Piet Petu, seorang ahli
kebudayaan Lio, struktur Nua orang
Moni mengambil pola medan perang, yakni struktur segi empat. Benteng dibangun
di empat penjuru untuk melindungi kampung dari serangan musuh dari semua arah.
Perkampungan orang Moni itu memiliki beberapa unsur penting seperti Rumah Adat, Kuwu, Kebo, Lewa, Saga, dan
Kanga.
a. Rumah Adat
Bangunan yang
paling menonjol di setiap Nua adalah
rumah adat. Secara turun temurun rumah adat orang Moni selalu berpasangan.
Rumah yang satu bernama Sa’o Ria,
sedangkan pasangannya adalah Sa’o Kedha.
Dari kejauhan,
kedua rumah itu tampaknya sama saja (terutama bagian atapnya). Namun jika
diamati secara seksama dari dekat, terdapat perbedaan besar antara keduanya.
Jika Sa’o Ria berdinding, maka Sa’o Kedha adalah bangunan tanpa dinding.
Fungsi masing-masing rumah adat itu pun berbeda.
Sa’o Ria adalah tempat tinggal Atalaki Pu’u/ Ine Ame dengan
keluarganya. Juga dengan saudara-saudaranya. Sa’o (rumah) ini juga berfungsi sebagai tempat dilaksanakannya
upacara-upacara (seremonial) adat seputar pertanian, kelahiran, perkawinan, dan
kematian. Sa’o merupakan simbol
kewanitaan atau kesuburan.
Pada pihak lain, Sa’o Kedha yang tak berdinding itu tidak
dihuni. Rumah itu dibiarkan kosong, dan hanya dipakai beberapa kali dalam
setahun, yakni bilamana pemuka-pemuka adat membicarakan persoalan-persoalan
penting yang menyangkut kepentingan seluruh suku. Karena itu, maka Sa’o Kedha dianggap sebagai simbol
kelelakian atau kejantanan.
b.
Kuwu/ Bhaku
Kuwu atau Bhaku adalah sebuah rumah kecil yang dibangun di depan Sa’o Ria. Rumah kecil ini pun tak
berdinding. Ia berfungsi sebagai tempat pertemuan informal. Kerap kali, tamu
diterima pertama kali ditempat ini, sebelum diterima di dalam Sa’o Ria. Kadang pula, tuan rumah
menjamu tamu-tamunya di Kuwu ini.
c.
Kebo
Ada pula rumah
kecil yang dinamakan Kebo. Disitulah
disimpan padi dan jagung setelah panen. Setiap keluarga mempunyai satu Kebo. Karena berfungsi sebagai lumbung
makanan, maka Kebo didirikan tidak
jauh dari rumah tinggal.
d.
Lewa
Agak jauh
disamping Sa’o Ria, berdiri sebuah
bangunan kecil lagi yang dinamakan Lewa.
Lewa tidak berpenghuni. Rumah itu
didirikan khusus untuk memasak daging dari hewan-hewan besar, seperti kerbau,
kuda, dan babi pada waktu diselenggarakan pesta adat.
e.
Saga
Di depan Sa’o Ria, disebalah kanan, berdiri
sebuah tiang dari kayu yang dinamakan Saga.
Tiang kayu itu setinggi sebatas lantai Sa’o
Ria. Pada ujung atasnya ditaruh sebuah batu bulat tempat mempersembahkan
sirih pinang untuk Du’a Ngga’e
(Tuhan). Diatas ujung kayu tersebut, bertumpu sebatang bambu yang bersandar
sepanjang rumah adat Sa’o Ria. Batang
bambu ini terarah ke Anawula Leja,
yakni sebatang bambu yang berdiri tegak di balok bubungan, disebelah kanan.
Disebelah kanan ujung batang bambu ini juga ditaruh batu datar, untuk menaruh
sirih pinang bagi Du’a Ngga’e.
Batang kayu dan
kedua batang bambu di atasnya berfungsi menghubungkan “dunia atas” dan “dunia
bawah”, “alam langit” dengan “alam
bumi”.
f. Kanga
Di depan Kedha dan Sa’o Ria terbentang sebuah Kanga,
yakni sebuah pelataran bundar berpagar batu-batu (kota). Di sebuah Nua bisa
terdapat lebih dari satu Kanga,
bergantung pada banyaknya pasangan rumah adat. Di Koanara misalnya, terdapat
dua Kanga, yakni Kanga suku Ndito, dan Kanga suku Moni/ Kombo.
Di tengah Kanga terdapat dua buah batu. Batu yang
satu berdiri tegak, dinamakan Tubu Musu.
Batu yang lonjong ini adalah unsur kejantanan, yang menghubungkan langit dan
bumi.
Disamping Tubu Musu terdapat sebuah batu ceper
bulat yang dinamakan Musu Mase.
Diatas batu inilah ditaruh persembahan untuk nenek moyang.
Jika Tubu Musu yang vertikal melambangkan
kahadiran imanen roh-roh nenek moyang, maka tak jauh dari Tubu Musu dan Musu Mase,
melintang sebuah Rate atau kubur.
Dalam kubur disemayamkan jasad Ata Laki
Pu’u/ Ine Ame, selama menanti upacara pemetian tulang, yang kemudian akan
ditaruh di dalam Bhaku.
Hal ini
menunjukan bahwa, Nua (kampung) bagi
orang Lio merupakan tempat tinggal manusia baik yang hidup maupun yang sudah
meninggal. Menurut pemuka-pemuka adat di Koanara, Kanga dan rumah adat (Sa’o
ria dan Kedha) merupakan satu kesatuan, yang merupakan inti dari sebuah Nua. Adanya Kanga di suatu tempat menandakan bahwa tempat itu telah dikuasai
oleh suku tertentu. Di Koanara misalnya, menurut ceritera, sebelum Moni
mendirikan Sa’o Ria dan Kedha, ia terlebih dahulu membangun Kanga, yang merupakan tempat suci dan
simbol kekuasaan. Disitulah nenek moyang dikuburkan dan disuguhi persembahan.
Di tempat ini pulalah mereka menyambut Du’a
Ngga’e dalam upacara adat.
g.
Sa’o Ria
Sa’o berarti rumah, dan Ria berarti besar. Jadi Sa’o Ria berarti Rumah Besar. Inilah nama
rumah adat orang Moni. Sebagai bangunan utama dan khusus, Sa’o Ria memang lebih luas dan tinggi dari pada rumah kebanyakan.
Ia berbentuk rumah panggung yang besar, tanpa dilengkapi jendela. Dari jauh,
dinding-dindingnya tidak kelihatan, sebab atap Sa’o Ria membentang/menjuntai hingga ke pertemuan lantai dan batas
bawah dindingnya. Sa’o Ria itu
menjulang tinggi, makin ke atas, atapnya makin kecil. Bubungan berbentuk
runcing memanjang, sejajar dengan tampak depan.
Gbr : Sa'o Ria di Moni Koanara
(Sumber : Arsitektur Tradisional Suku Lio oleh Mukhlis A. Mukhtar)
Baca Juga :