(Mengenal Adat Moni Koanara-Ende)
KesenianSeni Tari (Wedho Wanda)
Nenek moyang
orang Moni telah mewariskan kepada mereka sejumlah tarian. Yang dikenal sampai
sekarang adalah tarian Gawi, Wanda Pala
Simo Sau, Sanggu Alu, dan Hai Nggaja.
Semuanya merupakan tarian kelompok. Orang Moni tidak mengenal tarian solo.
Gejala ini
merupakan salah satu bukti betapa kuatnya peranan kelompok dalam kehidupan
masyarakat Moni.
a. Gawi
(Tandak)
Gawi adalah tarian tandak, yang
melibatkan pria dan wanita. Struktur dasarnya berupa sebuah lingkaran terbuka
serupa spiral. Lingkaran ini dibentuk oleh barisan para penari yang saling
berpegangan tangan, dan sama-sama menghadap ke tengah lingkaran.
Ujung dalam
lingkaran itu dinamakan Ulu (kepala),
sedangkan ujung luarnya dinamakan Eko
(ekor). Maka dapat dikatakan bahwa struktur dasar tarian ini berbentuk ular,
yang membentuk lingkaran spiral.
Tarian ini
dipimpin oleh seorang laki-laki yang mengambil tempat di ujung Ulu. Dia dinamakan Ata Sodha, yang bisa diartikan sebagai solis. Gerakan utama tarian yang
jumlah pesertanya tak ditentukan ini, terletak pada kaki dan tangan, berupa
gerakan maju mundur dan kesamping kiri dan kanan, dimana gerakan tangan
mengikuti gerakan kaki.
Tarian ini tak
diiringi musik instrumental. Lingkaran mulai hidup tatkala Ata Sodha mulai mengangkat Sodha
atau solo. Ia sekaligus berperan sebagai dirigen, yang menyemangati para penari
dengan lambaian sapu tangan. Bergemalah nyanyian sahut menyahut antara Ata Sodha dengan para peserta yang lain.
Gerakan tarian ini menarik, karena bagian Ulu
selalu bergerak lebih cepat dari bagian Eko.
Semua gerakan berhenti ketika Ata Sodha
berhenti melambungkan sodha.
Tarian ini
dipentaskan di halaman kampung, yang dinamakan Kanga, baik pada siang hari, atau malam hari.
Tandak ini
dimaksudkan untuk memeriahkan pesta-pesta adat seperti pesta panen, pengatapan
rumah adat, pesta pekawinan, dan pelantikan Mosalaki. Melalui tarian ini,
mereka mengungkapkan kegembiraan, meneguhkan ikatan kesatuan kelompok, serta
menyatakan harapan akan kehidupan yang lebih sejahtera.
b.
Wanda Pala
Tarian Wanda Pala juga melibatkan pria dan
wanita. Namun pada tarian ini, jumlah penari dibatasi. Biasanya wanita lebih
banyak dari pria. Jika wanita berjumlah 6 (enam) orang, maka pria dua orang.
Jika wanita berjumlah 8 orang, maka pria 4 orang. Para wanita mengenakan baju
hitam (Nepa Mite) dan sarung Lawo. Dilengkapi perhiasan berupa Omembulu (emas) di telinga, gelang, dan
Luka (selendang). Laki-laki dilengkapi dengan Destar, Luka, Ragi Mite (Lipa Hitam), sambil memegang Sau (parang). Para penari itu berdiri
berbaris, yang biasanya hanya dua barisan, campuran pria dan wanita. Jadi
laki-laki tidak membentuk barisan tersendiri.
Gerakan utama
tarian ini terletak pada kaki dan tangan. Para wanita lebih banyak bergerak di
tempat, sedangkan yang laki-laki sebentar-sebentar meliuk-liuk diantara
wanita-wanita itu, mengikuti irama musik Nggo
Wani (gong dan gendang). Tangan wanita meniru burung elang yang sedang terbang.
Tarian ini
dimaksudkan sebagai tarian menyambut tamu, terutama tamu yang besar (para
pejabat) atau disebut “simo ata ria”.
Dengan tarian ini, mereka mengucapkan kegembiraan dan penghormatan mereka pada
tamu agung itu.
c.
Hai Nggaja
Hai Nggaja adalah tarian menang perang,
yang dibawakan bersama-sama oleh pria dan wanita. Busana yang dikenakan seperti
pada Wanda Pala. Hanya saja pada tarian ini, yang laki-laki dilengkapi dengan Mbaku atau perisai. Jumlah penari Hai Nggaja dibatasi sampai 8 (delapan)
atau 10 (sepuluh) orang pria dan wanita dengan jumlah yang sama. Jika berjumlah
10 orang, maka terdiri dari 5 (lima) orang pria dan 5 (lima) orang wanita. Pria
dan wanita wasing-masing membentuk satu barisan yang berdiri saling berhadapan.
Tarian ini diiringi dengan musik Nggo
Wani dan nyanyian bersahut-sahutan antara penari pria dan wanita. Juga
tempik sorak sorai khusus penari pria, yang menandakan kegembiraan menyambut
kemenangan di medan perang. Tempik sorai itu juga merupakan tanda kejantanan
kaum pria.
Tarian perang ini
dipentaskan pada pesta-pesta adat yang besar, seperti pada pelantikan Mosalaki dan pesta panen. Ia
mengungkapkan keperkasaan suku. Kini juga dipentaskan dalam menyambut tamu
agung, sebab kehadiran tamu agung juga menandakan kebesaran suku.
d. Sanggu
Alu (Dorong Alu)
Tarian ini adalah
tarian khusus muda-mudi. Dalam memainkan tarian ini, ada dua kelompok muda-mudi
dengan jumlah yang sama. Mereka memegang sebatang Alu. Masing-masing kelompok berada di tiap ujung Alu. Keduanya mengadu kekuatan dengan
mendorong Alu itu ke pihak lawan.
Yang mampu menggeser lawan menjadi pihak yang menang.
Tarian ini
sebenarnya lebih merupakan suatu permainan, yang disertai tempik sorak dan
nyanyian tertentu untuk memberi semangat pada masing-masing kelompok. Tarian
yang merupakan penyaluran kesenangan muda-mudi ini biasanya dilakukan pada
malam hari di bulan purnama, di halaman kampung.
e. Simo
Sau (Terima Pedang)
Inilah tarian
khusus para Mosalaki Ria Bewa, yang
dilakukan pada upacara Tasi Kamba Dari,
yaitu pembunuhan kerbau pada pesta rumah adat. Mula-mula Mosalaki mengucapkan Bhea,
serupa seruan mengenai kebesaran suku. Misalnya Seruan Ria Bewa Daniel Balu Bata :
“Balu
Bata Ana Tana
Bata
Bewa Wiwi Nganga Wega
Bata
Legu Wiwi Bita Benu
Ria
Lau Eko Londi Kota Jawa
Ulu
Lowo Luku
Daga
Sai Lamba!...”
Artinya :
Balu Bata adalah anak tanah ini,
Bata.. bagaikan ombak yang menerjang,
Menghempas manusia,
Menguasai wilayah ini dari batas hingga ke
batas,
Dari hulu sampai ke muara,
Memerintah tanah ini!
Setelah melambungkan
Bhea ini, sang Mosalaki menari-nari melonjak-lonjak mengelilingi Kanga dengan parang di tangan. Setelah
beberapa kali mengelilingi Kanga,
sang Mosalaki memarangi leher kerbau
itu. Lalu menyusul Mosalaki lainnya.
Tarian ini tak
dapat dipentaskan setiap saat dan tempat, sebab tarian ini merupakan bagian
dari satu upacara adat yang sakral.
Baca Juga :